Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Tenggara Terima kasih atas kunjungan Anda

Senin, 28 Januari 2008

SENDRI YAKTI - Kendari


SENDRI YAKTI lahir di Kendari, 9 September 1980. Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari. Mengawali pentasnya dengan lakon Dream of La Bio di Gedung Koni oleh teater SMUNSA, selanjutnya ia pentas pada Indonesia Jilid IV (Habis) karya/sutradara: Achmad Zain pada Festival Teater Alternatif (FTA) GKJ Awards di Gedung Kesenian Jakarta, Oktober 2003. Bersama Abd. Razak Abadi, pernah menjadi pengisi tetap Art in Radio (AIR) di Radio Swara Alam FM Kendari. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Antologi Perempuan Penyair Indonesia [Masyarakat Sastra Jakarta-MSJ 2006] dan Majalah Gong Yogyakarta.


Monogram dalam Kolam

Sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu.
padahal, aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku.
tapi kau panah belah matahari
menggeligis pecah ke araharah,
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut
telah lama kau dedah larung di kolam,
menenggelamkan monogram yang berlepasan.

2006


Kutukan Sungai

Aku memeram batu-batu dan semak di dada
agar ketuk tak bergaung
dan spada tak mampir memekak
cuma boleh decak,
atau tepuk dari muara yang berkecipak.
[kutuk yang mengerak di rusuk].
Tapi pertemuan tiba-tiba itu,
membakar lingkar onak di jemari
memecahhanguskan batu-batu
menjadi tetaburan pasir yang berhinggapan di geraigerai
kukirim embun dan debu tiap saat
seperti laron dan kupu yang juga kau paketkan
tanpa kausal yang jelas.
waktu mengutuk kita menjadi pencemas,
perindu yang tak berani menggumam dan mendesah
sebatas upik abu yang memikat periperi,
meruahkan mawar di relung pangeran
dan bergegas di celah dentang
“sepatu yang kutinggal akan menggeruslepas kutukan,
ritual dari sungai yang mengaliri tubuhku”
Tapi keajaiban tak selalu tiba-tiba
tak ada sepatu yang kutanggal
kereta hanya mengantar adam,
yang bersulang dari deras sungai di mataku
Kuku memenuh inai
gaun yang dilicinkan
dasi berlapis cindai
erat belukar di tangan
ah
onak yang mesti kusemat kembali

151005


Mosaik yang Retak

Udara mengabarkan pilu yang ranggas,
kemarau di surat dan dering telepon malam hari
berulang kukatakan, jangan hansel dan gretel!
tapi tetap kau buang serpih roti di deret pinus hutan,
bukan batu atau kayu.
dan burung itu, bergegas mematuki remah
hingga kau menangis semalaman,
merindui cermin dan matahari
Dan aku, kehilangan pekat matamu
Dari hutan, suratmu pernah sampai padaku
hijau, coklat, lalu putih dan mengusam
sedang di kamar, telanjur kurekat kacakaca
hijau, kuning, juga merah yang benderang
mosaik : cermin dan mataharimu
Lantas, kacakaca memantulkan hijau pinus tempatmu,
kulihat kau menari, senyummu memekar mawar
kulihat burung itu menari denganmu,
matanya nanar meliar
petir berlarian di dadanya,
berkejaran di kuning merah kaca-kaca
menggelegarretakkan mosaik
Dan aku, kehilangan pekat mataku

2006


Kekalahan Dinihari

Malam marut, katakata mengerucut
menerobos sejarah yang mengumuh di sudutsudut
di udara merambat musik bingar, igau yang riuh
percakapan jadi liat dan menoreh pedih
sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka,
dan kau mencetak tiga poin di papan skor
menandai amnesia yang akut
kita berdebat tentang feodal yang kataku belel
tapi masih kau panggil ayahmu ode
tak seperti kudecak lidah
dan memanggil kucingku sultan.
keraton tak lagi sakral
melulu peluh melulu lenguh di temboktembok
pukul dua lewat, kau ratapi ruh murhum yang minggat
Embun bergelut di bibir rerumput
mata tak jua mengerut,
skor berkejaran dinihari
selisih yang tipis untuk sebuah final
lamatlamat, udara digaung suara rempak merenjana
pintu berderak, hati tertetak
“malam untukmu, saudara
khalikku merindu, zikirku cuma zarrah di arafah”
dan kau pun beringsut ke kabut.
Selepasmu, angkaangka berjatuhan dari papan
melenting, menggelinding
berputar,
terbakar
memijar,
lalu abu.

2006


Teman Lama

Di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergelayut dorna dan yudistira
Di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung alkah alkah dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul.
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paru-paru
Di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa.
mungkin kita tak butuh apoligi,
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul

2006


Musa di babak Terakhir

- Toer -

Cuaca mendung. radio mengalirkan blues yang getas
mata rusuh, sedu yang ribut
kau menjadi Musa di babak ini,
setelah nil mengaramkan perih dan lirih
tanpa Fir’aun, juga rambu rambu
kau tak perlu berhenti dan berhati.
kau bisa masuk dari pintu manapun di tubuhku.
lalu aku akan membaca rajah tanganmu,
mengheningkan detak yang sungsang
dan ke matamu,
kukirim sunyi terpekat.
mungkin, badai akan menghalau suara
ke bukit, ke nadi sungai, ke palka laut
tapi akan kunyanyikan berlembar igau dari teralimu
puisi, atau mantera, atau ayat-ayat
membakar linting terakhir di bibirmu
lalu menggiring matahari,
ke tabutmu*

05-2006


*tabut : peti berisi batu bertuliskan


perintah Tuhan pada Nabi Musa
Ketika Pasir Berarak
ke Utara
Laut surut, kanda
tak sempat kulipat perahu dari kertas
untuk kuhanyutkan ke utara
tempatmu menjala iblis
yang menjarah matahari dari atap
Bertumpuk dedaunan kayu putih,
aroma cengkeh dan mete,
ceciuman kalut, rindu yang marut
kupetikkan dalam palka perahu
tapi laut, kanda
masih juga susut.
Bermil dari pertempuranmu
kubayangkan sirap rautmu
digarut takut yang akut
erang genderang,
kerubung dorna,
kerumun faust,
Laut beranjak pasang, kanda
pasir mulai berarak ke utara
Malammu takkan beku dan rusuh
tunggu aku, kanda.

2006


Isyarat Perpisahan

Selalunya aku mengenang malam itu,
rintik hujan di kotamu yang senyap
sesuatu yang tak selesai kutulis
dalam buku daun yang mungkin sudah berhenti kau baca
catatan penuh gambar dan puisi tak berarah tentang kita
kenangan seperti cermin retak di bawah lampu
memantul melarikan pecahan wajah ke arah angin.
kita bahkan lupa wajah sendiri
hanya mereka-reka, seberapa kelam mata,
seberapa murung bibir.
sungguh, aku ingin membujuk tiap gerimis
menculikmu dari rumah sepi.
tapi tetesnya seperti es batu
menghablur,
mengisyaratkan gigil perpisahan
sesuatu yang belum siap kueja.

23.53

031005

Tidak ada komentar: