Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Tenggara Terima kasih atas kunjungan Anda

Rabu, 27 Februari 2008

Abd. Razak Abadi


Abd. Razak Abadi lahir, dibesarkan, dan tinggal di Kendari. Penulis, aktor, dan sutradara teater & film di yastam Kendari.








Lelaki Berdiri Goyang


lelaki berdiri goyang
berguru kepada moyang
lepas tongkat dengan loyang
hindari lobang
untuk sepotong gelang

Yk, 07072007


Lelaki Berdiri Kayang


lelaki berdiri kayang
berburu layanglayang
belikat bulat keranjang
kaki tirus lutut julang
mati dengan benang

Yk, 2007


Tiga Belas Mata Air Lelaki


ubun
mata
hidung
mulut
telinga
pusar
zakar
dubur
lima cari di kubur

yk, 2007


Percaya Pada Siapa

percaya pada siapa
duapuluhdelapantahun
jariku duapuluh
kini duapuluhsatu
siapa pada percaya?
enambelas tahun
rambut kelaminku tumbuh
kini seluruh tubuh
pada siapa percaya?
satu tahun
mulutku berkata itu
kini tetap satu
percaya pada siapa?

yk, 2007


Nisan Dalam Kubur

dekap kafan dengan papan
satu kancing seribu cacing
pahala dosa moksa
hibur nisan dalam kubur

kdi-desember 2007


Wasiat

jemput aku di pulau ini
dengan secarik kertas dan pena
tujuh senapan membidik tubuhku
besok

kdi-januari 2008


warisan

besok
aku hanya bisa memberimu
tujuh selongsong peluru

kdi-januari 2008

Denganmu Akhirnya

di meja makan
senyum datar
tujuh tusuk gigi
tikam leherku
saat pelukmu

jkt-2007


Sebuah Sajak Untukmu

kukirim tadi siang
saat hujan panas
air teko tidak cukup
dan sekantong bunga
untuk pusaramu

kdi-januari 2008


Anti Nyamuk

mari bersulang
untuk sebuah lubang di langit

kdi, 2008


Menulis Tubuh

dengan metafora
kita di sini
menulis tubuh yang tak selesai
lima detik bibirmu melenguh
pecahkan gelas yang kita pakai
minum bersama dalam selimut

Kdi-Valentine day, 2008


Memori Dompet

ada jeda
saat sehelai alismu
masih dalam dompetku
napasmu berpuak kecut
banal dari selangkangan

Kdi-Valentine day, 2008

Minggu, 10 Februari 2008

GALIH - Kendari -

GALIH lahir di Kendari tahun 1978. Bergabung dengan Teater Sendiri Kendari tahun 1999 dan pentas teater di beragai kota antara lain Festival Teater Alternatif-GKJ Award, 2003. Ia pernah pula berguru di Bengkel Teater Rendra dan bermain dalam lakon Sobrat. Sajaknya dimuat pada antologi Sendiri [Teater Sendiri]. Cerpennya dimuat di Majalah Horison dan Majalah Gong Yogyakarta. Kini sementara dalam perjalanan spiritual-kultural ke berbagai kota di Indonesia.


Setelah Adzan dan Tadarrsus


setelah adzan dan tadarrus
ibulah itu yang sedang termangu
menghentikan seketika dari kelebat rindu. [?]
suara angin lembut
adalah langkah ibu perlahan
menyebarkan bau gaharu dari hutan
juga ketukan kapak merdu
di ubun-ubunku yang beku.
gunung agung telah aku khianati
tempat pertapa berkawin sunyi
adalah puting susumu ibu
yang pernah kujangkau
dengan lidahku yang suci.
bila adzan gema di surau
ibulah itu yang sedang igau
sebab aku adalah anakmu
pertapa di puting susumu
telah diceraikan usia.
bulan terbit lalu cair di kali
mengalir mengarungi sungai resah dan kegelisahan
yang kemudian telah dan menjelma telaga.
juga ibulah itu yang sedang termangu
menghentikanku seketika dari kelebat rindu.

Kendari, Maret 2006


Hari Berkelebat Pelan

hari berkelebat pelan
siang yang kuncup mekar lalu kuncuplah malam
di langit berkedip bintang kejap sekejap
seperti kapak di jantungku
yang tak ingin rebahkan duka.
hari berkelebat pelan
menjamu kail dan nganga luka yang terjaga
oi! betapa sedapnya saling menggigit
dalam selimut kabut
yang dikoyak pinggul luka.

Kendari, April 2006


Mekar Kuncup

ada sayap mata yang berkedip di bintang-bintang
yang akan mengekalkan
perjumpaan yang singkat.
ada bintang-bintang yang berkedip di sayap mata
yang menggagalkan dalam sekejap
perjumpaan yang panjang.
antara bintang-bintang dan sayap mata yang berkedip
ada juga bibir bayi yang mesra
mekar dan kuncup tiada takut
di puting susu ibunya.
Kendari, April 2006

Menggila
menggila begini
bunga di kata belukar juga
raga ini sengsara saja maunya.
dan hatiku berkata:
hampirilah harimau
temuilah buaya
dan engkau pun akan tersenyum
bahkan minum anggur di mulut naga.

Kendari, Maret 2006


Misteri

karena pohon hanya termangu
seekor anjing datang, mendengkur
dan merangkul mimpi yang rasa khuldi
bagai suara di dada istri
serupa itulah cinta, pusaka adam dari ilahi.
karena pohon jatuhkan buah
seekor anjing yang mendengkur, seketika
terkejut bangun dan berlari tinggalkan mimpi
bagai suami yang cerai dari istri
dan cinta pun jadi misteri.

Kendari, Mei 2006

Ahid Hidayat






Ahid Hidayat lahir di Majalengka, 30 Agustus 1967. Menulis puisi dan cerpen, di samping menerjemahkan cerpen dan menulis artikel. Sejumlah tulisannya pernah dimuat di beberapa media massa (Harian Fajar, Majalah Sastra Horison, Harian Media Indonesia, Harian Pikiran Rakyat, Harian Republika). Tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.


Bintang


malam menawarkan berjuta bintang
di kancah langit meluas pandang
cakrawala mendekap bumi tidur lelap
semesta menyapa begitu ramah
gelandangan dan jelata tanpa rumah
siang menampakkan sebuah bintang
di pundak bajumu, cuma satu, tanpa cerlang
engkau tegak berjalan, membusung dada
memandang tajam ke depan, tiada sapa hangat
bagi pesuruh yang mengangguk hormat
dan tergesa membuka pintu buat kau lewat

Monolog Rama

(ketika malam dipirig rerintik hujan)
Istriku,
katakan kepada mereka, manusia
aku berperang di medan laga
sama sekali bukan kerna gengsi
akan kesucianmu aku tak sangsi
(petir menggelegar, tiba-tiba)
Istriku,
bahkan cinta pun harus bersujud
pada singgasana
(gerimis itu menjadi hening)


Surat Kemarau 1


kita memerah airmata kemarau
yang kian mengental, menggumpal
ladang waktu kita olah berdua
menanam bunga menanam cinta
“di mana gerangan benih?”
katamu
kekasih,
di tebing nurani kita
benih berakar bertunas


Surat Kemarau 2


kita menebar beragam benih
bermacam bunga, butiran cinta yang putih
tapi dengan apakah ladang waktu disiram
sedang airmata tinggal setetes dipendam
“betapa gersang leladang,”
katamu
moga-moga, kekasih
malam ini gerimis merintik
terbawa angin kemarau


Leladang Kerontang

kita terus mengolah ladang kerontang dari pagi
hingga petang bekerja tak henti-henti
meski terik matahari mendera jiwa dan raga
memanggang semaian kenang
kita terus menabur butiran harap
pada galur demi galur dan menyiram tunas-tunas
kehidupan dengan tetes demi tetes airmata
tetes-tetes darah putih darah merah
kita pun menunggu waktu dalam terpaan derita
sampai masa panen tiba
seperti bebongkah tanah yang kian kering meretak
kita semakin keriput dan pucat menjelma mayat
lewat bulan demi bulan sampai rambut penuh uban
sampai asing haus lapar, kita lemas terperangah
sebab hanya alang-alang
menutup hamparan leladang


Di Selat Cempedak

di selat cempedak
laut bergolak
kesiur angin timur yang kalut
bersekutu dengan kabut
mengirim bebayang maut
gemuruh bising mesin kapal
adalah derap kaki penjagal
memberi kabar kunjungan ajal
di selat cempedak
maut menetak

Dalam Perih
sepenggal duka
dari harmonika
sehampar garang
dari puncak siang
memerangkap sukma
dalam perih-luka
mahasempurna

april 2007


Di Luar Dekap

di emper kedai
seorang anak lelap
ketika malam lunglai
di luar dekap
bantal kumal kelabu
mengantarkan mimpi
lezat sepotong rindu
yang ingin sekali kubeli

april 2007


Akulah Ikan

akulah ikan, sial dan bodoh
terjebak dimakan umpan
akulah ikan, tergopoh
diperdaya sedap santapan
dan sepanjang garang hari
kau tarik-ulur tali pancing
dan di karang-karang mati
aku terbentur terbanting-banting

april 2007


Tanpa Kata

adalah kata
tali pengikat paling menjerat
karena kata
kujunjung kau sebagai sahabat
kupancung kau bedebah khianat
dengan kata
dua gugus cinta menyatu rapat
dua lempeng benci berkarat
tanpa kata
aku dikubur sunyi liang lahat

Sabtu, 02 Februari 2008

Photo - Photo Kegiatan

Acara Kongres KSI 1 di Kudus 19 - 21 januari 2008



Pementasan Teater Anawulaa Manggaa (TAM) sutradara Abd.Razak Abadi, Kendari



Pelatihan Teater Anak Sendiri (TAS) oleh Achmad Zain



Pelatihan musikalisasi puisi di Buton Kantor Bahasa Prov.Sultra. Pemberi materi
Syaifuddin Gani


Pelatihan musikalisasi puisi di Buton Kantor Bahasa Prov.Sultra. Pemberi materi
Syaifuddin Gani



Keluarga Besar Teater Sendiri - Kendari



Hamsat Rangkuti memberi materi menulis cerpen pada siswa Kendari,Kantor Bahasa Prov. Sulawesi Tenggara



Asia Ramli Prapanca memberikan materi menulis puisi & teater pada siswa SMA Negeri 1 Kolaka,2006



Anggota Teater 72 SMA Negeri 1 Kolaka menerima materi puisi dari Syaifuddin Gani

Selasa, 29 Januari 2008

Irianto Ibrahim



Irianto Ibrahim

Lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (kumpulan sajak teater sendiri), Sendiri 3 (kumpulan sajak teater sendiri) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan). Kumpulan Sajak tunggalnya terbit untuk kalangan sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004); Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006); Yang Tak Pernah Selesai (2007).
Semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca, teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra dan teater di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pernah menjadi peserta Program Penulisan Puisi Mastera di Samarinda.

BACA SAJAK MALAM

bila bukan karena malam
tak kuminta sajak itu kau bacakan
sulit bagiku memandang langit hampa
tanpa suara dan gegar semangatmu
atau begini saja:
kuhitung sekali lagi deretan mayat ini
lalu setiap sampai aku dihitungan sepuluh
satu baris sajakmu bacakan untukku
aku ingin tertawa
bahkan kalau bisa sebabas-bebasnya tertawa
sambil kulanjutkan hitunganku
sambil kau lanjutkan sajakmu
meski aku tahu
sampai lelahpun aku tak mungkin sanggup menghitung
tapi gairahku selalu menyala setiap kali sajakmu berdendang
ada rasa terpana
persis tabuhan bersambut berirama
ingin kugenggam jemarimu – menarik tanganmu
kita berdansa dan tertawa
engkau membaca sajak
dan aku
mengitung mayat-mayat

Kendari, 2007


SEEKOR BURUNG TUA

ini bukan kali pertama aku melihatnya
seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut
dan dua kelelawar kecil terperangkap
dekat pohon cemara
ada suara burung malam melengking
saat bintang-bintang kembali pulang
merendam diri
di danau bersama bidadari
bercanda dan menari
lalu terbang lagi
aku di sini
sebagai burung tua yang pasrah
memendam rahasia gunung dan samudra
dan warna cuaca
ini kali kesekian aku melihatnya
seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut
menoleh sejenak pada seekor kucing
yang linglung mengasak tulang
aku di sini
menghitung butir-butir sepi
dalam kabut yang enggan menepi

Purwakarta, 2007


PERJALANAN PULANG

barangkali kau telah melupakannya
atau mungkin lenyap ditelan sepi
lalu kutuntun awan mencatat yang terucap
di antara dupa dalam jambangan perak
dan lagu blues yang tak kutahu liriknya
ada bayang ragu mengintai
dari balik jendela yang telah kusam tirainya
dan seekor kucing kurus melintas
kulihat memantul dari matamu
sudah berkali-kali kuhirup aroma nafasmu
seperti tak akan usai perjalanan sepi
dan lorong waktu yang mendadak jadi peta
mendetak dalam dadaku
barangkali kau tak perlu mengingat
karena telah kutaksir malam
yang meredupkan mimpi

Jogja, 2007


ALAMAT MAUT

kaupun tak akan melihat pantai itu dari jendela
meski dengan bibir bergetar
dengan mata nanar
terlalu singkat sebagai derita
namun, teramat panjang sebagai duka
ada nada pilu tersendat
dasar laut yang menandai maut
dan lambaian penghabisan yang luput dari ingatan
lebih dalam dari segala alasan
kata yang tak dapat dipadankan dengan kelam
dengan seribu malam yang mendekam
atau deras arus yang mengancam
pilu yang dalam dan suram
kau hanya dapat menabur bunga dari jendela
dan ombak akan terus menuju pantai
sementara di langit
awan kelabu bukan miliknya lagi

Buton, 2007


SEBUAH PERJUMPAAN

1
jika entah bagaimana aku bisa melihatmu
aku tak dapat bergeming
seperti ketika seekor burung menabrak kaca jendela
atau daun yang dicabik-cabik kemarau
kau mungkin akan tertawa
sambil menderet tanya tentang lelah perjalanan
atau diam terkulum
seperti siput yang mengintip
aku juga akan tertawa
bicara tegas tentang ketegaran
atau mengangkat tangan dengan bahagia
berteriak pelan memanggil namamu
kita di sebuah perjumpaan
di tanah yang sebenar-benarnya sebagai pijakan
tempat pohon-pohon menadah hujan
atau badan menampung diri

2
jika entah bagaimana aku bisa melihatmu
aku tak dapat sembunyi
di langit ada ribuan kupu-kupu menggiring senja
girang melintasi lengkung lembayung
tempat mega-mega menenun sayap bidadari
dan aku memelukmu dari belakang
memacu kuda putih, membelah pelangi menuju istana
tempat para dewa membaca kitab suci
bersama kita
sepasukan bintang dan kawanan kunang-kunang
berkibar menantang badai
menuju ruang istirah tempat bulan dan matahari
menanti kita untuk bersanding

3
apakah kau mengira aku gila
mungkin
jika entah bagaimana kita bertemu
di daun ada seekor belalang melompat
hinggap di tali jemuran
menginjak seekor semut hitam
dan aku menjerit memanggil namamu
kau tertunduk
memandang butir-butir pasir yang kasar
pucat bagai wajahku
bulat bagai tekadmu
kita di sebuah perjumpaan
di tanah yang sebenar-benarnya sebagai pijakan
tempat kita menghampar segala cerita
berlomba menulis nama di pasir
sebelum ombak akhirnya menghapus keabadian.
keabadian.
kenapa kata ini lagi.
padahal seekor semut hitam
nasibnya tengah kelam
ia lupa cara mengelak
seperti ketika pertama kau mengajariku
cara tersenyum

4
apakah aku sedang bernyanyi?
atau suntuk membujuk mau?
bukan langit hari ini yang kutunggu
tapi ruang sempit yang tak mengenal kata jenuh
sebelum pasir menyisir kenangan
sebelum burung malam mencatat waktu kepergian
sebelum aku benar-benar melepuh
menjadi sauh bagi dermaga yang gelisah
kita adalah sebuah perjumpaan
lelehan cerita yang mengalir bagai larva
dan hawa panas yang bergairah
seperti kabut yang memaksa seorang penjaga malam
menggulung diri dalam sarung
atau seekor burung yang merawat jejak cinta
dalam sarang
kita adalah sebuah perjumpaan
jika entah bagaimana kita bertemu
kau mungkin tak akan menunggu
tapi aku akan terus merayu
dengan sederet lagu bisu
meski kau genangan beku.

Purwakarta, 2007


BUKIT NATAL

masih ingat bukit natal yang kita pandangi dari balik jendela?
mungkin ada dua atau tiga peri lucu yang sudah terbang pulang
entah karena apa
barangkali tongkat ajaib dan bola lampu berwana merah
sudah redup sejak pagi
dan kau masih membingkai diri
sementara kapas-kapas yang sengaja ditempelkan
telah menjadi salju dalam dirimu
kau dingin, kataku.
dari bukit itu, sebuah kartu natal dengan pita berwana kelam
bergambar sinterklas dan tujuh ekor rusa emas
mengetuk pintu kamarku.
aku butuh peri kecil, kataku.
kau masih membingkai diri
menatap bukit natal yang meredup satu-satu

Samarinda, 2007


MAHAKAM

1
bahkan kukira kau tak ingin
menjelaskan sedikitpun tentang kemarau
apalagi ketika tanah dan daun meretak
burung-burung merendah
kau malah bicara tentang bahasa angin
dan menafsir potongan senja
sebab Mahakam telah merekam
segala yang meriak dalam diriku
dan badai sudah menggenang dalam matamu
maka kumohon, jangan
pergi!

2
berapa kali sudah
kau bersua sepi di sini
jalan-jalan lengang
dan suara-suara kau biarkan berlalu
ada cerita dan nada perih
yang menganga
menunggumu di sini
di balik tirai
yang tak pernah mengenal kata
mati

3
mengapa pada salak anjing kau titip perih
apakah kabut bagimu hanya bermakna duka
sementara embun telah kau lepuhkan
menjadi lidah-lidah api?
berkali-kali sudah aku bersua sepi di sini
menunggui malam yang selalu karam
menandai bandul waktu yang menggerutu
di antara sayup senyap percakapan bintang
dan desau nafas butir-butir angin
yang memanggilku kembali.
ayo pulang,
katamu.

Samarinda, 2007


SEJAK MATAHARI HANYA BICARA PADA BUNGA-BUNGA

sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia tak lagi ke taman itu.
ia ingin sendiri saja,
melupakan bangku kayu
daun-daun yang terserak
ujung ranting yang meruncing
dan satu kancing baju kekasihnya
yang pernah tanggal di sana
dekat sumur batu yang keramat
ia bikin rumah bambu
dengan sebuah beranda
yang menghadap ke utara
sebuah tempat untuk melupakan
sebuah pekarangan yang menjadikan hari
lebih kusam dari kolam tua
sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia ingin sendiri saja
memandang gunung yang kurus karena kemarau
atau kidung riang burung-burung perayu
ia hanya bermain dengan seekor kucing betina
yang entah datang dari mana
ketika malam bertahap menjadi keruh
angin tiba-tiba mengendus
mengambil kucing itu
melarikannya ke gunung
dan menyembunyikannya dekat pohon kuku
pohon yang lebih ia benci dari pacar pertamanya
ia marah
ia kesal
sejak itu ia tak ingin bicara pada angin

Kendari, 2007


BUTON 1969

begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyiak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan
mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir
bukan tawar menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu
pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah
adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam gua yang ditolak para pertapa
kau khusuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

Buton, 2007


NARASI SURAT CINTA

aku bacakan yang ini saja:
surat cinta yang tak jadi kukirim
karena kutulis dengan huruf-huruf besar
dan terlalu mencolok kata sayang dan rindu
di setiap baitnya
ini pun bila kau mau mendengarkan
karena di samping isinya yang terserak
suaraku juga telah habis terkuras
oleh igau malamku yang seolah
namamu menyatu dalam bibirku
lagi pula
aku sulit menemukan cara menulis surat
dengan huruf miring yang mendayu-dayu
meski perasaan saat menulis
lebih menggelombang dari badai
yang selalu menyurutkan nyali para pelaut
setelah berkali-kali
mencoba belajar seni melipat surat,
aku selalu gagal dan kesal. aku merasa
ada semacam penolakan yang sengaja ditimbulkan
oleh surat ini karena mungkin saja ia tahu
kalau tidak wajar sebuah surat tanpa
pengirim. tentu karena malu. aku
tak ingin menulis namaku yang amat tidak sepadan
dengan gambar winnie the pooh
di sudut kanan bawah, kertas berwarna oranye ini.
atau begini saja. lupakan kalau aku pernah
menulis. karena kamu
akan mengabaikannya bahkan
sebelum aku memintanya

Kendari, 2007

ROYAN IKMAL

ROYAN IKMAL lahir di Raha-Muna, Aktif di Teater Sendiri Kendari mulai tahun 2004. Puisinya diantologikan pada antologi Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri] dan Sendiri 2. Bersama Teater Sendiri, ia mengikuti Pentas Keliling Indonesia 2005 di Surabaya [IAIN Sunan Ampel Surabaya], Solo [Teater Arena Surakarta], Yogyakarta [kerjasama Teater Tangga-Universitas Muhammadiyah, Teater Eska-IAIN Sunan Kalijaga, Lembaga Indonesia Perancis-Yogya], dan Jakarta [Pusat Bahasa Jakarta]. Ia juga salah seorang penggagas Teater Empat Raha dan menyutradarainya. Mengikuti FTP-TS 2005 & 2005, Proselamat-Teater Sendiri, Persen-Depsi, RBK-Anasepu, Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Makassar.


Kota Muna

Kota muna
kuciptakan engkau kata
kutatakan engkau ruang
kubangunkan engkau, meruang
walau sesungguhnya
tanpa itu semua
engkau memang telah mapan
Kota muna
kuarungkan engkau lautan indah
kuisi tubuhmu dengan tinta hitam
kubalut lukamu dengan kata
walau sesungguhnya
engkau telah melakukannya.
Kota muna
di laut engkau kota kecil
di darat engkau kota besar
dan aku melekat pada tubuhmu

Bje, 020804


Ayah


Telah banyak kugoreskan hatiku
pada pecahan malam, barabara matahari.
terlebih lagi untuk sebuah nyanyian
yang aku tempel pada dinding tepian hari
dan terhempas oleh hujan berhari-hari
Kali ini, hanya permintaanku pada angkasa
kita dapat bersanding dalam penantian
setelah kuasanya meneteskan syurga.
aku tidak menuduh bencana adalah penyebabnya.
tapi bencana adalah kebahagiaan
yang membawa engkau tersenyum berkepanjangan.
Ayah, hanya butiran air yang kupersembahkan
lewat selubung kata maaf yang tersesal
laksana kubangan yang coba memberikan kesejukan
walau mengalir tidak, tapi mataair murni
yang tertampung sejak terciptanya kehidupan.
Tuhan, masih dengan selembaran kataku buat angkasa
tidak engkau hadirkan hitam tanpa sesuatu yang terang
seperti katamu pada bisikan tulisanmu yang ampuh
kalimat itu terukir tebal di bibir sang ayah
maka jauhkanlah ia dari maut yang telah mengepung.

29 Mei 2006


Hanya Sebuah Desah


Malam ini, telah kupaksa jemariku untuk berjalan
membuat huruf hingga berarti, “kerinduan”
sampai terdengar dan terasa oleh telinga dan
seluruh organ tubuhmu, bahwa kelelawar malam
mampu melihat dalam kegelapan.
dengan sebuah harapan, “kepuasan”
Sebelumnya aku pernah menggali di atas batu karang
membuat tanganku terluka dan aku mengerang
tak pernah aku pikir, mengapa mawar berbunga duri?
Terlalu sulit untuk kupangkas di dalam rumahku.
Saat ini pun aku bertanya pada malam
apakah kita tidak akan melihat mentari pagi?
Maaf, hanya sebuah desah.

Yogyakarta, 22 Juni 2005


Bersetubuh dengan Kotoran


Maaf!
kita terpaksa bercinta di tengah malam
beriringan
bergandengan
berpelukan
berciuman
bahkan bersetubuh dengan kotoran
Kalau kau berkata tentang bulan yang hampir purnama
di tengahnya awan samara yang selalu menyaring sinarnya
aku tahu
kau tahu
aku buas
kau puas
aku enggan
kau bosan
Sayang, iring-iringan senjanya seakan di ubun-ubun
mungkin air bah terlanjur mengalir dengan derasnya
mengguling kita hingga hanyut dalam pelukannya
Kita mencoba menggapai tiang
walau hanya tangan yang selalu menengadah
pada bebatuan yang besar menimbun
bukan berarti bulan tidak akan purnama
hanya saja kita masih kotor di matanya
andai aku bisa menyaring penyesalan
akan aku persembahkan buat hari kemudian
harapkan kau mempersembahkan sesuatu
lepas aku di hari kemudian

Yogyakarta, 22 Juni 2005


?
Untuk Muna

Bukankah ini telah pagi untuk kita
Bagaimana aku mendustai alam
Yang setia dengan suasana
Begitu nafas aku tarik
Senang aku hembuskan
Barulah aku menulis tentang dusta
Mata dan mulut
Hati dan telinga
Awan dank abut
Darat dan udara
Lewat perjalanan kita
Menelusuri lembah yang nista
Bukannya aku atau kau yang berkata bohong
Bukan pula terang dalam gelap
Atau bahagia dalam kesedihan
Tapi cinta dalam dusta

Raha, 130805


Hanya Sebuah Permulaan

Masih dengan keterbiasaan malam, jengkrik
mengiringinya lewat tembang rayuan
padahal ia baru saja berkenalan dengan bintang di langit
yang berujung di pinggiran pantai putusnya
walau itu hanya sebatas berdua, tanpa
penjaga pantai yang menguping
Ada mayatnya membungkus dalam hati
ada pula rindu membungkus dalam angan
malam itu laut baru saja memulai
bersanding dengan daratan
entah mereka mengerti atau tidak
pastinya saat itu hanya permulaan
yang belum jelas akhirnya.
Kesamaan itu tercipta dengan sendirinya
memang tuhan telah menakdirkan
kalau malam itu ada kata dari merfeka:
“jika ingin tahu, maka jangan tahu
jika ingin tahu mengerti, maka jangan mengerti”
hanya mereka berdua dan yang maha tahu yang tahu
Aku suka bulan, bintang, dan suasana pantaimu
katanya “aku pun suka yang kau suka”
sejenak mereka berkelana dalam buaian
pada angina yang bertiup kencang
lalu hanyut di buih air laut
hingga kembali dengan membawa sejuta bahagia
Pastinya itu hanya sebuah permulaan.

Raha, 140506


Nona
NN

kita telah merancang sebuah sandiwara
yang pastinya kau dan aku yang berperan di dalam
bukan setengah kau memerankan seorang istri
yang menyelinap ke dalam bongkahan batu dengan susah
hingga kau tergores dan mengeluarkan darah
oleh tajamnya batu karang.
Kau dan aku
mungkin kita telah mengisap sedikit ganja
dalam ruang kenikmatan sesaat
padahal kita tahu, kalau belum waktunya
detak jam mengiringi desah nafas kita yang panjang
sampai kita terbengkalai di antara dua pilihan
Kapan
dimana
mungkin,
bumi yang berputar di kepala kita telah berhenti?
tidak! setiap saat aku putar
sangking lamanya kau pun ikut berputar
dan hampir terhenti dengan katamu sendiri
NN
di ujung lidahmu kau tulis sesuatu tentangku
bukan berarti tidak kalau aku ingin mengambilnya
dengan lidahku yang selalu mengeras
sebab kau dan aku akui kita memang mengeras
dalam Lumpur.

NNG, 300705


Telah Kujelajahi Lorong Hatimu


Telah kujelajahi lorong hatimu, lalu
Aku siapkan tempat sampah untuk membuang
Semua kebusukan yang ada di kepalamu.
Pernahkah engkau melakukannya
Seperti deretan semut dengan susah
Menggotong sesuatu dengan kebersamaan?
Setapak demi setapak kakimu berpijak
Melupakan panasnya bara api yang kau lalui
Engkau tahu saying, betapa mulianya
Pengorbanan waktu, betapa tulusnya
Kepedihan rasa, dan
Betapa relanya hari untuk 3 tahun.
Saat ini romansa melilit di kepalaku, begitu pula
Lambaian jiwa, mungkinkah mata
Harus berkorban dengan memberikan
Tetesan bening yang ia miliki?
Telah kujelajahi lorong-lorong hatimu
Hingga aku tersesat di bibirmu
Dan engkau tertinggal jauh
Bahkan menetap dalam otakku

ANT Taman Budaya, 011205


Adik-adikku

Adik-adikku
telah aku pikul beban di kerinduan kalian
pada maa yang akan datang
walau belum waktunya aku datangkan itu
pada rindu sang pertapa
Kalian tulislah sebuah cerita
tentang raja yang rindu permaisuri.
pada kertas yang bergambar, di situ ada kalian
dan sang raja di hening malam. ingatlah jengkrik merengek,
katak memohon, cicak yang keheranan mendengar
cerita kalian hingga kakak yang kebingungan
Adik-adikku
masih ingatkah kalian tentang gantungan ranting
kulitnya terkelupas oleh panas dan kesabaran
begitu lama kita merajut kesedihan bersama
sampai kalian lupa akan tawa
Berjalanlah kalian mendaki gunung
ada sedikit bekal, sudah kakak simpan
di kantung badanmu. gunakan itu seperlunya
karena esok menantilah mereka, menyantap bekal yang
kau simpan selama ini. hingga tubuhmu tumbuh subur
dan berkembang di dalam kepala mereka,
bahkan berbuah di bibir semua orang.
Adik-adikku
ada tangan mengelus dada. ada api tersiram air
kalau bencana bukan jaminan bahagia
maka jadikanlah bencana, bahagia kalian.

Rh, 310805


Kuda-kuda Besiku


Kuda-kuda besiku yang manis
telah kau tulis nota pinjamanku dalam dosa
hanya kesetiaanmu yang membara
dalam nafas yang tersendat, karena aku, kau kehausan
menjadi sakit atau amarahmu merusak jalanku.
Sudah berapa jauhkah kita gagahi tujuan
sampai bebatuan mementalkan, kita berlari
tanpa peduli tuntutan dan dendam mereka
kita kecup hari hingga memerah, lalu
pagi, siang, malam bosan meladeni kita
Kuda-kuda besiku yang cantik
seperti apa rasanya, ketika punggungmu
menyatu dengan bokong yang montok
mungkin kau bosan bersetubuh dengan aku
karena aku kurang menggairahkan
tapi aku menikmati
bagaimana kau melayanikui dengan pasrah
Kuda kuda besiku yang malang
kita memang sepasang kekasih yang malang

Bje, 020804


Gambarmu di Kanvas Berikut

Aku hanya menggambarkan wajahmu
oleh kanvas-kanvas tersedia sajak lama
yang separuh isinya telah mengarungi jiwa
walau telah memudar, namun telah tergores
“si kulit tahu” yang ingin bersaning dengannya
Kuakui gambarmu dapat mengubah warna
kalau dulu polos, kini berubah
dengan sejuta warna yang telah buram.
tapi aku
bukan kau dideret kanvas terkebelakang
manyapu pesaingmu terdahulu gugur
Hanya status yang membedakannya
terlebih dulu terlingkar oleh ikatan duniawi
tak mungkin lagi untuk berubah sedikit pun
namun kenyataannya, ada nisan pada gambarmu
mengukir di belakang kanvas
aku hanya menyediakan, melayani, melengkapi
apakah terus terukir atau tidak.

SKRT Ln, 140506


Pelangiku

Pelangiku
kalau kau bercerita tentang kepuasan
aku akan bercerita tentang penyesalan
andai kau bercerita tentang bahagiamu
aku akan bercerita tentang kecewaku
di manakah letaknya batas harapan?
Memang engaku
merah
kuning
biru
ungu
jingga
dan warna lainnya yang indah
Akan tetapi aku
bingung
pusing
ragu
kesal
marah
dan kekalutan yang hampa
Terus terang
apakah benar
ataukah
dibenarkan
kita menjadi terbiasa

RI, 020105


Engkaukah Itu


Engkaukah itu, purnama yang kehilangan cahaya
kunang-kunang malam terbang tanpa penerangan
atau mungkin pantai yang menimbun kotoran dedaunan
jalan berbatu, sungai mengering, siang tanpa matahari,
dan jiwa tanpa senyum. bukankah telah berulang-ulang
kicauan burung menyambut pagi.
seperti apa lingkaran yang engkau buat?
Engkaukah itu, yang menelan bara api?
di mana tungku telah engkau nyalakan kembali,
beribu bahkan berjuta dedaunan
berguguran terhempas angina
tidakkah engkau sadari, bukan mata yang bersedih, tapi
ada sesuatu yang membuat banjir di kulit mulus
hingga bukit itu longsor?
Engkaukah itu, musibah dalam ruang tak terbatas
sehingga tak ada jalan untuk menghindar dari
terpuruk, bertumpuk, menunduk, menggorok, dan
merangkak. bukannya rasa kalau tidak dapat merasakan
bukannya pohon jika terus mengalami keguguran
bukannya lautan kalau airnya terus mengalami surut,
tapi kehidupan yang tak pernah engkau tahu
datang dan perginya.
Engkaukah itu, mungkin kita semua akan bertatapan.

Makassar, 011905


Syair Muna yang Terbang

Untuk Rakyat Muna
Sekian tahun aku melayang di angkasa
rasanya tak pernah ada yang indah
hanya sesaat, ketika aku tarik nafas panjang
aku belum mati, hanya sedikit sakit
dari virus yang menggerayangi hati dan tubuh
Sekarang suasananya agak tegang
aku tumbuh laksana bunga rumput yang indah
sayangnya mereka tak mau tahu
kalau aku tumbuh dan mekar di atas kotoran
dan air selokan
hanya angina membagi harta
lalu aku bergoyang terbuai hembusannya
Aku punya nama, tapi tidak jelas
aku punya harta, tapi kemalingan
aku juga punya hati, tapi rasanya sakit
nyawa pun hampir melayang
Aku bisu karena lidahku tercabut
aku tuli karena telingaku tersumbat
aku lumpuh karena kakiku terikat
bahkan sampai tertawa pun rasanya pakat
Tapi kalian harus ingat,
aku punya musibah untuk kalian!

Ril, T4

DIDIT MARSHEL

DIDIT MARSHEL lahir di Uepai tahun 1976. Bergabung dengan Teater Sendiri sejak tahun 1997. Alumni Unhalu Jurusan Bahasa dan Seni tahun 2002. Bersama TS, ia pentas dalam beberapa event kesenian, antara lain Temu Teater Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Karya puisinya terdapat pada Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri]. Seusai kuliah si Unhalu, ia kembali ke kampong Uepai dan membentuk sanggar berbasiskan anak-anak usia SD, SLTP, dan SMA yang bernama Teater Rakyat Anamolepo [Trapo] eapai. Sanggarnya, Trapo telah berkali-kali pentas, dan berkali-kali pula meraih sutradara, aktor, artistik, penyaji terbik pada berbagai iven anatara lain Festival Teater Pelajar [2004-2005]-Teater Sendiri Kendari dan Festival Teater-Teater Empat Raha.

Pada

Pada hidup kukatakan sepi kepanjangan
pada ramai kurelakan tuk menyatu
pada malam kubertemu angin sunyi
pada siang kubersama kehangatan hambar
pada jengkel kuluapkan semua isi perut
pada rindu kukhayalkan di kejauhan
pada terang kuberlindung dari kesilauan
pada gusar kuterbawa sepoi emosi
pada sabar kuselami kedalamannya
pada dosa kucoba hindari
pada pahala kuakan gapai
Aku ini dalam perjalanan
penuh cadas pada pijakan
perih berdarah ku kan tersenyum
walau mata berkaca-kaca.

Lasolo, 20 November 2005


Hoplah

Tung hitung terluntang lantung
menggantung di awang-awang
lang melayang menerawang
Diri sendiri menyendiri
beri, lari hindari menghampiri
seri si sri sari-sari
Larut terpaut taut maut
kusut kasut kusut rambut
cabut serabut lutut
Celoteh boteh loteh moteh teh
toreteh bateh loteh kateh
mateh sateh tateh jateh
Jalan pelan berkalan-kalan
cepat dapat ketupat rapat
tunjukkan akan berakan ikan
Resah asah mengasah basah
melamun namun manyun
lebam garam malam selam
Ngung…. Ung… ng… g
B…. i….

Pedalaman Lasolo, 30 September 2005


Tiba-tiba Saja

Tiba-tiba saja saingat itu anak
malas-malasnya, rajin-rajinnya, keras-kerasnya,
marah-marahnya, ngambek-ngambeknya,
uring-uringannya
Jika kelak aku larut usia
ialah penerus langkah
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Dia!
terlintas disaat aku sunyi
disaat aku sedih
ayun langkahnya adalah obat
diamnya adalah dingin
cerianya adalah nyata
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Aku !
bukan apa-apa
ia adalah harapan
walau ia tidak tahu, sebab
tidak ‘kan pernah kuberi tahu
tentang segalanya itu
kelak ia akan tahu
bahwa ia adalah segalanya
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak

Pedalaman Lasolo, 7 Oktober 2005


Bingung

Gantung untung lantang sayang
hanya di hati tapi terkunci
benci laci, poci pecah lengah basah
Sarang dijadikan sarung buat serang barang
barang buta seperti bala berhati batu
terbata-bata hindari diri lari sembunyi
Mungil mengail pengalaman di halaman
berlindung pada pelindung, buang lang-lang diberi sayang
apa dikata lata berkata jata jadi rata-rata
lolos polos, siapa jadi jongos?
Pintar putar latar, narasi jadi basi
sampai kapan papan delapan kedepan
akui jati dari Raha, bahwa prahara itu begitu
Memang muda ada padamu,
tapi madu pada padu walau pedih
terima saja, saja terima tak lama-lama
sabar disambar tebar lebar
sesal asala jasad terbabad
akui mengakui pakui-kui
gila lagi aku kau
hanya nyaho tak bergeming gamang.

Pedalaman Lasolo, 25Agustus 2005


Vocal

Itu dingin selimuti badan
hati beku buat tak nyaman
coba panasi dengan asap
hasilnya kamar jadi pengap
Entah ini hanya rasa
terasa jiwa melambung makna
atau hanya perasaan
dibutuh, tidak! Dilupakan, jangan!
Otak berputar kelilingi alam
gelisah temani temaram
jangkrik lantunkan irama resah
ombak di kejauhan mendesah basah.
Usung harapan di kejauhan
namun tak kesampaian
jarak telah memisah
bungkam semua kumpulan desah
Anak manusia terdampar jauh
langlang buana pedalaman kumuh
sendiri di pengasingan romantis
hingga semua terputus lepas

Pedalaman Lasolo, 12Agustus 2005


Gosong

Gerayangan hati kala ingin pulang
bersua dengan tatap makna pada lingkaran
gelisah di dada antar di rasa
tidur tak kunjung, angan melayang
Galau memang selimuti langkah
hampir terjungkal cium anak nakal
bagaimana tidak karena kosong
Gugat siapa kalau begini
batasi gerak karena piring
rasa bagai di liang
Gerak duduk berulang-ulang
seperti seterika dongkol sendiri
di kamar malang
Gigit filter hingga putus
rokok habis berbatang-batang
kamar pengap bau asap jalang
Genderang hati tetap bertalu
gelisah jiwa ingin pulang
galau pada pertimbangan
gugat siapa kini
gerak tak dapat sulit melilit
gigit jari di kamar sepi
Waktu pun terus melaju, dan
aku masih di sini merana sendiri

Pedalaman Lasolo, 11 Agustus 2005


Sajakan Saja

Selaksa makna dari mata
tikam nurani pada sepi
jauh terlihat senyuman
tatap penuh makna tanpa arah, tapi bertujuan
Kerahasiaan tertata rapat
akan ungkapan jiwa sunyi
bahwa kagum simpatik telah bertahta
ditimbun rasa pertimbangan, malu pada rinai hidup
Seutas narasi telah terjadi
saat itu tak terkondisi
kesalahanlah yang bercokol
cerita dapat berubah diubah
nyata kalimat lain, kemurnian terpahat indah.
Kutuang biar tumpah
akan rasa yang menghentak
begitu berarti raut wajah sepi
berkhayal angan tak tiba
senyum berganti amarah
pandangi kisah di hari-hari
Senandung angin ajak bersuka
lantunkan lagu irama syahdu penuh rindu
jauh bukanlah jarak, yakin telah tersulam
dua hati malu untuk satu
Kata bukan segalanya. Kalimat tidaklah satu-satunya
gerak pandangan serta pipi merona
adalah tanda, semua boleh diketahui
lewat mata hati
Ini, jangan ada ragu. Segalanya ada pada bulan
gemuruhnya esa gelombang rindu
itu tidak bergeming!

Pedalaman Lasolo, 8 Agutus 2005


Negeri Batu
: Kado Ultahku

Zaman batu, penuh batu
perubahan batu jadi goa batu
kikisan batu jadi kerikil batu
kumpulan batu jadi gunung batu
penghuni goa batu berkembang seperti batu-batu
beranak-pinak seperti kerikil batu
tertimbun di lubang batu.
Peradaban batu seperti hujan batu
penuh dengan aturan batu
gunung jadi gedung batu
angin laksana panah batu
air mengeras laksana batu
api menjilat laksana lidah batu
tanah retak laksana pecah batu
binatang jadi batu
manusia jadi batu
dan
sebentar lagi tempat ini
akan jadi batu

24 Oktober 2004


Awal Bulan

:Tuk Manusia Aneh

Bulan di atas kening curahkan sinarnya
sepasukan awan bentuk benteng lekuk meliuk
sementara dingin rasuki tulang,
hembus nafas hasilkan asap di kejauhan
Bulan di atas kening lingkar penuh tanpa lekuk
sepasang kecoa penuh canda di takik papan
senandung jangkrik malu-malu
cicak di dinding cengengesan
telan nyamuk sial datang ajal
Bulan di atas jidat kerut perlahan
sinar buram awan menghitam
sedang jangkrik tetap bernyanyi sunyi
cicak puas lidah terjulur tlah hancurkan cinta kecoa
Bulan di atas jidat halau aral
satu ditepis, awan pun terhempas
sir desir angin datang, pecahkan awan hitam
Bulan dekati ubun
senandung jangkrik makin menyayat,
lihat kecoa penuh duka lara
Bulan di atas ubun, saksikan dengan tengadah
sendiri aku masih terdiam di awal bulan
lihat bayangmu jemput khayalku.

Uepai, 1 Agustus 2004


Dia Pergi


Dia pergi.
cerita paling pendek
kala kudekap jemarimu dingin
Kini tinggal kenangan
penuhi ruang bathin.
satu cerita lagi terlewatkan
kubakar hatimu dengan rasa
hingga temui damai di sisi
Aku hanya berucap
“maafkan aku
karena
berterus terang”.

Kendari, 2001

KARMIL EDO SENDIRI


KARMIL EDO SENDIRI lahir di Ende-NTB tahun 1978. Bergabung dengan Teater Sendiri, tahun 1999. Bersama TS ia pentas pada Temu Teater Katimuri I di Banjarmasin 2000 dan even kesenian lainnya. Ia juga pernah bergabung dengan beberapa sanggar yaitu, UK-Seni Unhalu, Bensfis, dan kini membina Teater Rahasia. Ia juga telah tiga kali kuliah di tiga jurusan yang berbeda. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Karya puisi Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, Pembacaan Sajak Akhir Tahun-TS 2005 [Teater Sendiri].


Tentang Cinta Kita


Biarkan malam ini berlalu seperti malam-malam lainnya
Bukan karna kita sama-sama lelah
Bukan karna tak ada cinta lagi
Tapi sebab bulan tak lagi semanis madu
Kita semua orang upahan
Tak boleh punya malam pertama
Sebab bersama mentari esok
Kita harus kembali giat
Makanya tak boleh lelah
Kita cuma buruh pabrikan
Tak boleh berbulan madu
Sebab jika absen kita kosong
Itu berarti mangkir
Kita dipe-ha-ka
Sayang,
Tentang malam pertama
Biarlah kita ganti
Dengan cinta kilat di sela istirahat
Toh, hasilnya sama, anak.
Cinta,
Tentang bulan madu
Tak pantas untuk kita
Itu kisah para selebriti
Itu kisah konglomerat
Yang penting cinta kita tidak melarat

Kendari, 2002


Tentangmu


Kukuh dua kaki
Topang sejuta ide
Sekian kata entah
Kau ambil
Kau buang
Tinta pun tercecer pada leluk bayangmu
Kekar dua lengan
Pikul sejuta gagas
Sekian cerita entah
Kau rangkum
Kau edit
Kertas pun terserak pada tiap desahmu
Kilau lapang jidat itu
Kutahu kau gemilang
Ada yang ingin kukatakan tentang kau
Din, aku iri

Ende, 2005


Kata Mata Kita

Mata pena bosan merangkai kata
Mata pena enggan melukis kita
Mata pena macet di kota
Mata pena kehabisan tinta
Mata kota kita
Seperti pena tanpa tinta
Seperti tinta tanpa kata
Kendari Beach, Desember 2004

Legenda Kasih
Lama Sabatani
Atas nama rindu di kelam malam
Kau datang padaku
Kau kecup bibirku
Mesra
Kita pun bergumul dalam rasa
Lalu kau katakan
Ini yang terakhir
Dengan sayang kau ikat aku
Dalam kasihku kuserahkan diriku
Karena cintaku kau arak aku sebagai maling
Aku nista seperti kecupmu
Sebagai pelacur aku kau adili
Sebagai pengkhianat aku kau hukum
Kau cambuk aku dengan duri
Pada tiang perkasamu kau paku aku
Dalam nafsu kau sibak auratku
Malu aku telanjang di hadapmu
Tombak kemaluanmu menikam lambungku
Penuh birahi kau sedot darahku
Kau sembur ke mulutku kala kuhaus
Lalu
Ketika selaput keagunganku
sobek di langit
Mengiringi desah terakhirku
Aku berkata, Lama Sabatani
Kenapa kau tinggalkan aku
Aku tertunduk
Malu aku
Mati sebagai jalang
Di puncak durjanamu
*dan, ketika rohku mengembara
Kulihat jasadmu tergantung
Dalam rona sesal
Pasrah pada burung nazar
Yang menggaulimu
Aku tetap mencintaimu

Kendari, April 2003


Memori Kita

:Andi

Di atas sampan itu
Kita pernah bersama
Tantang pembodohan
Dalam tirai
Tenggelam di dalam ideologi
Hanyut di arus perlawanan
Kandas di kejamnya kekuasaan
Lalu terapung oleh popularitas
Kita pun sepakat hilang
Lenyap dari kenyataan
Aku bersembunyi
Dalam kegelapan yang bagiku artistik
*terakhir kudengar
Kau semakin mesra dengan-Nya

Makassar, Agustus 2005


Maaf Dek
:Mereka

Sementara kuingin sembunyi
Kau mencari
Sementara sekian banyak kujauhi
Kau hampiri
Sementara aku berlari
Kau dapati
Entah siapa yang mulia
Lalu ada belai
Enggan usai
Bahkan tanpa kata
Apalagi cinta
Tercipta cerita
Segala tentang kita
Maaf
Aku khilaf
Aku insyaf

Kendari, 140203


Tentang Malam Kita

Membiarkan bulan berlalu
Begitulah kisah
Di atas bukit batu
Kita berkesah
Polos kata tanpa malu
Tentang sekian resah
Tentang sekian cintamu
Ada kesal
Tentang sekian ceritaku
Ada sesal
Tentang malam itu
Ingin kau kutinju

Uepai, 14 subuh Februari 2006


Kau Panggung Nasib


Hanya mata menatap kaku
Dan diharap wajah membeku
Lalu jauh pandang memaku
Bila dagang tak laku-laku
Demi nasib dia begadang
Dan dibara hidup dipanggang
Lepuh di kulit kian meradang
Karena menunggu jagung matang
Adakah cinta untuk yang papa
Adakah sayang untuk nestapa
Bila hidup semakin hampa
Karna untung tak berapa

Sekret TS- 20, 21, 23 September 2004


Menjelang Subuh

Jam dinding mendengkur
Dan kita ditegur
Tidur!

Sekret TS, dini hari 2 September 2004

Senin, 28 Januari 2008

SENDRI YAKTI - Kendari


SENDRI YAKTI lahir di Kendari, 9 September 1980. Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari. Mengawali pentasnya dengan lakon Dream of La Bio di Gedung Koni oleh teater SMUNSA, selanjutnya ia pentas pada Indonesia Jilid IV (Habis) karya/sutradara: Achmad Zain pada Festival Teater Alternatif (FTA) GKJ Awards di Gedung Kesenian Jakarta, Oktober 2003. Bersama Abd. Razak Abadi, pernah menjadi pengisi tetap Art in Radio (AIR) di Radio Swara Alam FM Kendari. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Antologi Perempuan Penyair Indonesia [Masyarakat Sastra Jakarta-MSJ 2006] dan Majalah Gong Yogyakarta.


Monogram dalam Kolam

Sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu.
padahal, aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku.
tapi kau panah belah matahari
menggeligis pecah ke araharah,
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut
telah lama kau dedah larung di kolam,
menenggelamkan monogram yang berlepasan.

2006


Kutukan Sungai

Aku memeram batu-batu dan semak di dada
agar ketuk tak bergaung
dan spada tak mampir memekak
cuma boleh decak,
atau tepuk dari muara yang berkecipak.
[kutuk yang mengerak di rusuk].
Tapi pertemuan tiba-tiba itu,
membakar lingkar onak di jemari
memecahhanguskan batu-batu
menjadi tetaburan pasir yang berhinggapan di geraigerai
kukirim embun dan debu tiap saat
seperti laron dan kupu yang juga kau paketkan
tanpa kausal yang jelas.
waktu mengutuk kita menjadi pencemas,
perindu yang tak berani menggumam dan mendesah
sebatas upik abu yang memikat periperi,
meruahkan mawar di relung pangeran
dan bergegas di celah dentang
“sepatu yang kutinggal akan menggeruslepas kutukan,
ritual dari sungai yang mengaliri tubuhku”
Tapi keajaiban tak selalu tiba-tiba
tak ada sepatu yang kutanggal
kereta hanya mengantar adam,
yang bersulang dari deras sungai di mataku
Kuku memenuh inai
gaun yang dilicinkan
dasi berlapis cindai
erat belukar di tangan
ah
onak yang mesti kusemat kembali

151005


Mosaik yang Retak

Udara mengabarkan pilu yang ranggas,
kemarau di surat dan dering telepon malam hari
berulang kukatakan, jangan hansel dan gretel!
tapi tetap kau buang serpih roti di deret pinus hutan,
bukan batu atau kayu.
dan burung itu, bergegas mematuki remah
hingga kau menangis semalaman,
merindui cermin dan matahari
Dan aku, kehilangan pekat matamu
Dari hutan, suratmu pernah sampai padaku
hijau, coklat, lalu putih dan mengusam
sedang di kamar, telanjur kurekat kacakaca
hijau, kuning, juga merah yang benderang
mosaik : cermin dan mataharimu
Lantas, kacakaca memantulkan hijau pinus tempatmu,
kulihat kau menari, senyummu memekar mawar
kulihat burung itu menari denganmu,
matanya nanar meliar
petir berlarian di dadanya,
berkejaran di kuning merah kaca-kaca
menggelegarretakkan mosaik
Dan aku, kehilangan pekat mataku

2006


Kekalahan Dinihari

Malam marut, katakata mengerucut
menerobos sejarah yang mengumuh di sudutsudut
di udara merambat musik bingar, igau yang riuh
percakapan jadi liat dan menoreh pedih
sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka,
dan kau mencetak tiga poin di papan skor
menandai amnesia yang akut
kita berdebat tentang feodal yang kataku belel
tapi masih kau panggil ayahmu ode
tak seperti kudecak lidah
dan memanggil kucingku sultan.
keraton tak lagi sakral
melulu peluh melulu lenguh di temboktembok
pukul dua lewat, kau ratapi ruh murhum yang minggat
Embun bergelut di bibir rerumput
mata tak jua mengerut,
skor berkejaran dinihari
selisih yang tipis untuk sebuah final
lamatlamat, udara digaung suara rempak merenjana
pintu berderak, hati tertetak
“malam untukmu, saudara
khalikku merindu, zikirku cuma zarrah di arafah”
dan kau pun beringsut ke kabut.
Selepasmu, angkaangka berjatuhan dari papan
melenting, menggelinding
berputar,
terbakar
memijar,
lalu abu.

2006


Teman Lama

Di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergelayut dorna dan yudistira
Di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung alkah alkah dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul.
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paru-paru
Di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa.
mungkin kita tak butuh apoligi,
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul

2006


Musa di babak Terakhir

- Toer -

Cuaca mendung. radio mengalirkan blues yang getas
mata rusuh, sedu yang ribut
kau menjadi Musa di babak ini,
setelah nil mengaramkan perih dan lirih
tanpa Fir’aun, juga rambu rambu
kau tak perlu berhenti dan berhati.
kau bisa masuk dari pintu manapun di tubuhku.
lalu aku akan membaca rajah tanganmu,
mengheningkan detak yang sungsang
dan ke matamu,
kukirim sunyi terpekat.
mungkin, badai akan menghalau suara
ke bukit, ke nadi sungai, ke palka laut
tapi akan kunyanyikan berlembar igau dari teralimu
puisi, atau mantera, atau ayat-ayat
membakar linting terakhir di bibirmu
lalu menggiring matahari,
ke tabutmu*

05-2006


*tabut : peti berisi batu bertuliskan


perintah Tuhan pada Nabi Musa
Ketika Pasir Berarak
ke Utara
Laut surut, kanda
tak sempat kulipat perahu dari kertas
untuk kuhanyutkan ke utara
tempatmu menjala iblis
yang menjarah matahari dari atap
Bertumpuk dedaunan kayu putih,
aroma cengkeh dan mete,
ceciuman kalut, rindu yang marut
kupetikkan dalam palka perahu
tapi laut, kanda
masih juga susut.
Bermil dari pertempuranmu
kubayangkan sirap rautmu
digarut takut yang akut
erang genderang,
kerubung dorna,
kerumun faust,
Laut beranjak pasang, kanda
pasir mulai berarak ke utara
Malammu takkan beku dan rusuh
tunggu aku, kanda.

2006


Isyarat Perpisahan

Selalunya aku mengenang malam itu,
rintik hujan di kotamu yang senyap
sesuatu yang tak selesai kutulis
dalam buku daun yang mungkin sudah berhenti kau baca
catatan penuh gambar dan puisi tak berarah tentang kita
kenangan seperti cermin retak di bawah lampu
memantul melarikan pecahan wajah ke arah angin.
kita bahkan lupa wajah sendiri
hanya mereka-reka, seberapa kelam mata,
seberapa murung bibir.
sungguh, aku ingin membujuk tiap gerimis
menculikmu dari rumah sepi.
tapi tetesnya seperti es batu
menghablur,
mengisyaratkan gigil perpisahan
sesuatu yang belum siap kueja.

23.53

031005

IWAN KONAWE - Kerndari


IWAN KONAWE lahir di Kendari tahun 1978. Menggaa Lighting [Penata Lampu] Teater Sendiri ini pernah mengecap bangku kuliah di UNM-Makassar Jurusan Sendratasik angkatan 1999. Namun, saya ramalkan bakal tak selesai-selesai. Makanya lebih baik cepat mengundurkan diri sebelum diundurkan, katanya sambil tertawa. Bersama TS, ia pentas dalam beberapa event kesenian. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005, Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Takalar-Makassar. Selama empat bulan, magang di Gedung Kesenian Jakarta bagian Tata Cahaya dan Artistik, kerjasama Yayasan Kelola-GKJ. Karya puisi pria Konawe (Tolaki) yang suka bertualang ini, terdapat pada Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Pembacaan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri], dan Majalah Gong Yogyakarta. Kini menetap di Kendari sambil sesekali bertualang ke Uepai.

SMS Kedua Ratus Tujuh
:Syaifuddin Gani

‘lekas kemari
kamis atau jumat pagi
kau mesti di kendari
kita akan mengganti bulan
dengan malam bulan puisi”
begitu berburu kau menyapaku
lewat pesan masuk telepon genggamku
:pada suatu magrib
tanpa bulan temaram
hanya kegelapan
kesepian,
berjarak puluhan kilometer kerinduan

Uepai, Ujung September 2004


SMS Keseratus
Sembilan Puluh Lima
: Adel

pada suatu pagi yang ungu:
“kak… kamu di mana sekarang?
maaf ya…aku tak kuasa ke kendari.
aku harus pergi jauh,
meski aku rindu
pada kalian semua”.
kau kirimi aku kidung alam
tegar seperti nyala bara
:adakah aku berhadapan
dengan geram peperangan,
yang menang akan abadi
yang kalah tak kembali?
berdiri kemudian aku di muka pintu kayu
lusuh bagai waktu itu
melukiskan masa lampau:
“di ubun-ubunku
urat syaraf tengah berperang melawan radang otak”
bagitu kau bilang
sembari bersila di depanku.
ketakutan, kegelisahanmu
menggambar maut
kutangkap dari senja kaca jendela.

Uepai, Ujung September 2004


Silea

di tanah pinus pegunungan silea
reranting kering berguguran
merepih kabut
memapah pagi yang berpekat.
tepi gunung menebar wangi sejuk kemesraan
tepi jurang menebar indah getir kematian
menuliskan rinduku bergalau
sepanjang jalan berlika-liku debu.

Kolaka, Agustus 2004


Ritus Mosehe

dari muasal tanah konawe:
“tembikar pandan
melilit erat tiga simpul rotan
berlingkaran di antara pinang dan dedaunan siri
beralas tetoron putih sebagai kesucian.”
perlahan pabitara menyentuh sukma
tembangkan makna peribahasa:
“ni ino saramami”
bukan mantra basa basi
hanya petuah temurun
yang masih utuh walau guntur mengemuruh beruntun
sepejam mata
taawu dihunuskan:
kerbau putih sebagai simbol tumbal
darahnya bercecer mengusir sesal
ia lemas telah mengusir tikai
yang tak padam

Konawe, 2004

taawu : pedang panjang khas adat suku Tolaki

Ritus Molulo
bumi merubah nasib:
pesta kawin, panen, dan kematian
tiba-tiba menjemput
bumi dijajal:
kedua telapak kaki menari
jemari adam erat menganyam jemari hawa
luluh lantakkan tanah
pada pusar lingkar kekerabatan
bumi bersaksi:
demi cucu merukun
tiga bunyi karandu
dititipkan tono motuo
demi kami
Inggomiu

Konawe, 2004


Kembali Ia akan Memintal Waktu

:TS

telah ia sepuh segala:
suka serta duka
cita serta cinta
di gedung besar sana
sebulan, ia kenang lampau yang meriak:
“sembari pamit kepada malam yang pahit berarak
kuteteskan pula setetes bening di kelopak
bukan karena bara dada telah menetak
tapi kesabaran mesti kudendangkan kendati telah retak”.
pada lantai ubin
ia dilahirkan
pada bilik beton
ia dibesarkan
pada gedung tegar
segala kebersamaan ia tebar.
hanya sesaat saja asa berhembus
hengkang ke belantara luas
ketika tiba memanggil waktu
kembali ia akan memintal waktu.

Makassar, 2004


Suatu Malam


suatu malam
saat lorong rumahmu mulai kelam
kupacu jarak menembus rindu yang pupus
kuhalau kabut malam yang menutup
jarak perpisahan

Kendari, 2003



Kita Putar Waktu ke Belakang

:Didit Marshel

di atas sperei ranjang
bergambar bunga-bunga
juga ada reranting juntai memanjang
:kita putar waktu ke belakang
mengingat masa lalu telah menjadi benang
kusut berurai dan terlentang
tanpa sadar kita menyaksikan bisu langit-langit
tanpa sadar kita toreh dinding dengan derai bait-bait
tetapi,
tanpa sadar mulut kita berlumut
tepat, seperti kemarin cicak mendecak
hasil keringat kita.
meski pengorbanan adalah perjuangan
kesabaran jadi penuntun,
ke jantung telah kita pantunkan
ketegaran jiwa Kapita Anamolepo
:kita benam saja segala dendam
ataukah mestinya
kita susuri kembali perkampungan laanggambo
meski penuh ombak debu
repihan perenungan lalu
tetap ia sepuh.

Uepai, 2004


laanggambo : tempat penambangan pasir di daerah Uepai


Kukubur Senja yang Perih

:Fitri & Annisa

mobil senja mengantarku menyusuri kendari
melayari perbukitan pohonan pinus silea
meliuk-liuk di aspal yang bersilauan
mengubur senja perih di tanah sorume
tak gentar kulayari tanah merah
sepekan lamanya
melarung memberi makna puisi
seluruh ke penjuru sukmamu
tapi, mesti kutautkan perpisahan itu:
mengubur nista-nista itu.

Kolaka, 2004


Kata Perpisahan V

:Para Pembuat Bom

selamat malam anjing malam
berikan kami lolonganmu
sebagai jerit penolong untuk kami
memasuki mimpi yang bergalau
akan kuberi jeritan yang lain
lebih perih, lebih menyayat:
dari bagian tubuh kami yang terbuang.

Uepai, 2004

ACHMAD ZAIN - Kendari


ACHMAD ZAIN. Berawal dari kesendirian, disertai keprihatinan atas kondisi perteateran di Sulawesi Tenggara, tahun 1992, Stone - demikian akrab dipanggil - mendirikan Teater Sendiri. Pada awal kiprahnya, kesendirian adalah kawan yang setia menemani perjuangannya. Tak lama kemudian, ada beberapa orang yang bergabung. Baginya, tidak ada pekerjaan yang hina selama dikerjakan dengan ikhlas dan tulus. Ia menulis naskah dan menyutradarai pementasan teater di Teater Sendiri. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Teater Sendiri Dengung, Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, Pembacaan Sajak Akhir Tahun TS-2005 [Teater Sendiri], Antologi Wasi Taman Budaya Banjarmasin, Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Membawa Teater Sendiri yang dibinanya pada berbagai event di Indonesia dalam Temu Teater Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Pentas Teater Keliling [Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta], dan ajang lainnya. Menerima Penghargaan Sastra Tahun 2007 dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara untuk dedikasinya dalam menggiatkan sastra di Sulawesi Tenggara. Teater Sendiri pun yang dibinanya, menerima Penghargaan Sastra Tahun 2007 dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara atas aktivitas kesastraan di Sulawesi Tenggara. Baginya, “Berbuat Adalah yang terbaik!"

Fana

Kurangkul malam
Kupagut kelam
Kucumbu rembulan
Kusetubuhi waktu
Kulupa usia
Berpeluh gairah
Di ladang nafsu
Sesaat nikmat
Mengikat
Ajal tiada saat

Wuawua-05


Halusinasi

air mata
membatu
di rongga
mulut
telinga
bising
memekak
di ketiak
dubur
hati
luluh
meleleh
di antara
bibir
tubuh
rubuh
menggelepar
bising memekak
air mata
luluh meleleh
di ketiak bibir
mulut membatu
di rongga dubur
di antara
hati

Wuawua-05


Sembilan Anak Tangga

Usai lewati sore di awal ‘06
dengan berjuta cerita di antara dua gelas kopi
buatanmu
Sesekali ada tawa terselip
di kepulan asap 234
Din
di sembilan anak tangga
semua tersimpan rapi
dan di puncak tangga ada cahaya membias
biarkan menerpa wajah kita
Din
melangkahlah selama kaki kanan
dan kaki kiri belum menyatu.

Wuawua, 1 Januari ‘06


Aku Cemeti


Aku cemeti
yang senantiasa
mencambukmu!
entah sampai kapan.
Enyahlah rasa sakit
larut rasa sakit
yang tenang…
Desirku adalah
simponi yang ‘kan
mengiringmu
pada
kemanusiaan hakiki.

Kendari, 2006


Ajari Aku

Aku manusia lahir
yang kurang ajar
karena keadaan
Keadaan
menuntunku pada
kehidupan liar
di tengah kaum terpelajar
Kasian para cendekia
ajari aku
‘tuk dapat menjarah
harta negeri ini
Ajar aku
‘tuk berwajah dua
ajar aku
‘tuk bersilat lidah

Kendari, 2006

Fransiskus S. Patadungan,


Fransiskus S. Patadungan,
Lahir tanggal 10 November 1986 di Toraja Sulsel.sekarang menjabat ketua Arus Teater Kendari Bergabung sejak awal berdirinya Arus Teater-Kendaritahun 2006 dan langsung diangkat menjadi Ketua Arus Teater-Kendari. Juara I dan III Lomba Penulisan Puisi
Peringatan Hari Chairil Anwar. Juara II Lomba Baca Puisi pada PESTA Unhalu tahun 2007. Menyutradari pertunjukan puisi pada akhir tahun 2007. Karya : Antologi Puisi Ini Untuk Esok. E-mail : frans_seno@yahoo.com


PASIR

Belum jelas kata "kita"
dalam kebersamaan kita.

inilah seruan dalam diamku

saat kusaksikan dalam genggamanku
kembang putih adalah keping-keping jamur
tersusun bagai kelopak -kelopak bunga
yang menipu

Di saat berharap terang
kau tenang
wujudmu cahaya
panas yang menguras darah dalam urut
menjadi keringat membasuh tubuhku menjadi dekil
di setiap mata.

Setiap mata bersakasi
"kau adalah benalu dalam harapan"
tapi kuberteriak
"tidak"
hanya karena itu terlalu kasar buatmu

Dulu bulan sebit awan tercabik-cabik
malam menghantar sepi
menyelip dalam hening

kau datang menunjuk senyum di atas awan
kau tampakkan rumah di atas karang
tapi apa? Apa?
Awan slalu berubah tak kembali
dan kini, tampaklah rumah
yang kau tunjuk berdiri di atas pasir

22 desember 2007

KATA TERBINGKAI

Belum usai
kita terbaring setiap malam memandangi langit
menyelam merayapi hati, sambil
menyerap hening dingin
telah berkali-kali kita menyulam
kata-kata menjadi bunga
bertangkai ujung tombak

kita saling memberi
perih terbingkai rapi

Walau kata-kata telah berlalu
namun di batin kata membatu
Dan kita seperti anjing menjilati luka sendiri

28-30 April 2007

DENDAM

Sebab janji pernah mengikat kita
lalu kini
keputusanmu telah memukul

Maka untuk kau tahu
wajah-wajah yang nampak malam
kami rias dengan terang
dari senyum

di sungai air mata
daging pipi
kami lapis daun talas

Dan agar kau tahu
di telapak tangan air mata tergenggam
terkepal tersimpan dalam nafas.

12 April 2007


PEREMPUAN

sederhana saja untukmu.

jangan tunggu aku
akan memanggilmu bidadari.
itu tak akan pernah !
sebab kau kuharap menjadi perempuan
yang datang dengan secangkir air untuk lelahku.
Bukan dengan selendang
yang tak lepas membentang di pundak
hingga ke ujung jari
menjadi beban untuk ditanggalkan.

ketahuilah
aku mencintai kamu
karena dan dengan harapan.

31 mei 2007


KEBEBASAN

Di dinding sebuah gedung
seorang laki-laki berdiri
dengan selangkangan terbuka
Di tengah selangkangannya
air kencingnya memancar.

Januari 2008

DESEMBER APRIL


Desember ini kau masih mengirim salam sepi dari lagit
bagai hujan mengucap musim
bintik-bintik dan gerimis menjadi
liur-liur seiring air mata kerinduan

Di sini tak ada yang menemaniku menyalakan lilin-lilin
menjaga terang tenang
menahan redup oleh tarian angin hingga habis perbatang
aku risih akan keredupan perlahan.
Maka kuganti saja lilin-lilin ini dengan satu lentera
agar terang dan asap hitam sama-sama ada
Janganlah marah tetaplah kalahkan aku dengan kabarmu

Aku telah lelah tapi sabarku tak habis
Aku tahu menuju April nanti kau akan berkabar lagi
tentang beban salip di punduk hatimu
tapi dari Desember ini aku telah bersiap
memikul palungan hingga April
untukmu nanti

Januari 2008

DAPUR ISTRIKU

mengapa dapur kita tak ada jelaganya?
yang ada hanya jaring putih labah-labah

mengapa piring-piring kita hanya menjadi hiasan
berdebu di ruang tamu?

Esok kita makan di warung mana lagi?

Januari 2008