Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Tenggara Terima kasih atas kunjungan Anda

Selasa, 29 Januari 2008

Irianto Ibrahim



Irianto Ibrahim

Lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (kumpulan sajak teater sendiri), Sendiri 3 (kumpulan sajak teater sendiri) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan). Kumpulan Sajak tunggalnya terbit untuk kalangan sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004); Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006); Yang Tak Pernah Selesai (2007).
Semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca, teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra dan teater di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pernah menjadi peserta Program Penulisan Puisi Mastera di Samarinda.

BACA SAJAK MALAM

bila bukan karena malam
tak kuminta sajak itu kau bacakan
sulit bagiku memandang langit hampa
tanpa suara dan gegar semangatmu
atau begini saja:
kuhitung sekali lagi deretan mayat ini
lalu setiap sampai aku dihitungan sepuluh
satu baris sajakmu bacakan untukku
aku ingin tertawa
bahkan kalau bisa sebabas-bebasnya tertawa
sambil kulanjutkan hitunganku
sambil kau lanjutkan sajakmu
meski aku tahu
sampai lelahpun aku tak mungkin sanggup menghitung
tapi gairahku selalu menyala setiap kali sajakmu berdendang
ada rasa terpana
persis tabuhan bersambut berirama
ingin kugenggam jemarimu – menarik tanganmu
kita berdansa dan tertawa
engkau membaca sajak
dan aku
mengitung mayat-mayat

Kendari, 2007


SEEKOR BURUNG TUA

ini bukan kali pertama aku melihatnya
seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut
dan dua kelelawar kecil terperangkap
dekat pohon cemara
ada suara burung malam melengking
saat bintang-bintang kembali pulang
merendam diri
di danau bersama bidadari
bercanda dan menari
lalu terbang lagi
aku di sini
sebagai burung tua yang pasrah
memendam rahasia gunung dan samudra
dan warna cuaca
ini kali kesekian aku melihatnya
seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut
menoleh sejenak pada seekor kucing
yang linglung mengasak tulang
aku di sini
menghitung butir-butir sepi
dalam kabut yang enggan menepi

Purwakarta, 2007


PERJALANAN PULANG

barangkali kau telah melupakannya
atau mungkin lenyap ditelan sepi
lalu kutuntun awan mencatat yang terucap
di antara dupa dalam jambangan perak
dan lagu blues yang tak kutahu liriknya
ada bayang ragu mengintai
dari balik jendela yang telah kusam tirainya
dan seekor kucing kurus melintas
kulihat memantul dari matamu
sudah berkali-kali kuhirup aroma nafasmu
seperti tak akan usai perjalanan sepi
dan lorong waktu yang mendadak jadi peta
mendetak dalam dadaku
barangkali kau tak perlu mengingat
karena telah kutaksir malam
yang meredupkan mimpi

Jogja, 2007


ALAMAT MAUT

kaupun tak akan melihat pantai itu dari jendela
meski dengan bibir bergetar
dengan mata nanar
terlalu singkat sebagai derita
namun, teramat panjang sebagai duka
ada nada pilu tersendat
dasar laut yang menandai maut
dan lambaian penghabisan yang luput dari ingatan
lebih dalam dari segala alasan
kata yang tak dapat dipadankan dengan kelam
dengan seribu malam yang mendekam
atau deras arus yang mengancam
pilu yang dalam dan suram
kau hanya dapat menabur bunga dari jendela
dan ombak akan terus menuju pantai
sementara di langit
awan kelabu bukan miliknya lagi

Buton, 2007


SEBUAH PERJUMPAAN

1
jika entah bagaimana aku bisa melihatmu
aku tak dapat bergeming
seperti ketika seekor burung menabrak kaca jendela
atau daun yang dicabik-cabik kemarau
kau mungkin akan tertawa
sambil menderet tanya tentang lelah perjalanan
atau diam terkulum
seperti siput yang mengintip
aku juga akan tertawa
bicara tegas tentang ketegaran
atau mengangkat tangan dengan bahagia
berteriak pelan memanggil namamu
kita di sebuah perjumpaan
di tanah yang sebenar-benarnya sebagai pijakan
tempat pohon-pohon menadah hujan
atau badan menampung diri

2
jika entah bagaimana aku bisa melihatmu
aku tak dapat sembunyi
di langit ada ribuan kupu-kupu menggiring senja
girang melintasi lengkung lembayung
tempat mega-mega menenun sayap bidadari
dan aku memelukmu dari belakang
memacu kuda putih, membelah pelangi menuju istana
tempat para dewa membaca kitab suci
bersama kita
sepasukan bintang dan kawanan kunang-kunang
berkibar menantang badai
menuju ruang istirah tempat bulan dan matahari
menanti kita untuk bersanding

3
apakah kau mengira aku gila
mungkin
jika entah bagaimana kita bertemu
di daun ada seekor belalang melompat
hinggap di tali jemuran
menginjak seekor semut hitam
dan aku menjerit memanggil namamu
kau tertunduk
memandang butir-butir pasir yang kasar
pucat bagai wajahku
bulat bagai tekadmu
kita di sebuah perjumpaan
di tanah yang sebenar-benarnya sebagai pijakan
tempat kita menghampar segala cerita
berlomba menulis nama di pasir
sebelum ombak akhirnya menghapus keabadian.
keabadian.
kenapa kata ini lagi.
padahal seekor semut hitam
nasibnya tengah kelam
ia lupa cara mengelak
seperti ketika pertama kau mengajariku
cara tersenyum

4
apakah aku sedang bernyanyi?
atau suntuk membujuk mau?
bukan langit hari ini yang kutunggu
tapi ruang sempit yang tak mengenal kata jenuh
sebelum pasir menyisir kenangan
sebelum burung malam mencatat waktu kepergian
sebelum aku benar-benar melepuh
menjadi sauh bagi dermaga yang gelisah
kita adalah sebuah perjumpaan
lelehan cerita yang mengalir bagai larva
dan hawa panas yang bergairah
seperti kabut yang memaksa seorang penjaga malam
menggulung diri dalam sarung
atau seekor burung yang merawat jejak cinta
dalam sarang
kita adalah sebuah perjumpaan
jika entah bagaimana kita bertemu
kau mungkin tak akan menunggu
tapi aku akan terus merayu
dengan sederet lagu bisu
meski kau genangan beku.

Purwakarta, 2007


BUKIT NATAL

masih ingat bukit natal yang kita pandangi dari balik jendela?
mungkin ada dua atau tiga peri lucu yang sudah terbang pulang
entah karena apa
barangkali tongkat ajaib dan bola lampu berwana merah
sudah redup sejak pagi
dan kau masih membingkai diri
sementara kapas-kapas yang sengaja ditempelkan
telah menjadi salju dalam dirimu
kau dingin, kataku.
dari bukit itu, sebuah kartu natal dengan pita berwana kelam
bergambar sinterklas dan tujuh ekor rusa emas
mengetuk pintu kamarku.
aku butuh peri kecil, kataku.
kau masih membingkai diri
menatap bukit natal yang meredup satu-satu

Samarinda, 2007


MAHAKAM

1
bahkan kukira kau tak ingin
menjelaskan sedikitpun tentang kemarau
apalagi ketika tanah dan daun meretak
burung-burung merendah
kau malah bicara tentang bahasa angin
dan menafsir potongan senja
sebab Mahakam telah merekam
segala yang meriak dalam diriku
dan badai sudah menggenang dalam matamu
maka kumohon, jangan
pergi!

2
berapa kali sudah
kau bersua sepi di sini
jalan-jalan lengang
dan suara-suara kau biarkan berlalu
ada cerita dan nada perih
yang menganga
menunggumu di sini
di balik tirai
yang tak pernah mengenal kata
mati

3
mengapa pada salak anjing kau titip perih
apakah kabut bagimu hanya bermakna duka
sementara embun telah kau lepuhkan
menjadi lidah-lidah api?
berkali-kali sudah aku bersua sepi di sini
menunggui malam yang selalu karam
menandai bandul waktu yang menggerutu
di antara sayup senyap percakapan bintang
dan desau nafas butir-butir angin
yang memanggilku kembali.
ayo pulang,
katamu.

Samarinda, 2007


SEJAK MATAHARI HANYA BICARA PADA BUNGA-BUNGA

sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia tak lagi ke taman itu.
ia ingin sendiri saja,
melupakan bangku kayu
daun-daun yang terserak
ujung ranting yang meruncing
dan satu kancing baju kekasihnya
yang pernah tanggal di sana
dekat sumur batu yang keramat
ia bikin rumah bambu
dengan sebuah beranda
yang menghadap ke utara
sebuah tempat untuk melupakan
sebuah pekarangan yang menjadikan hari
lebih kusam dari kolam tua
sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia ingin sendiri saja
memandang gunung yang kurus karena kemarau
atau kidung riang burung-burung perayu
ia hanya bermain dengan seekor kucing betina
yang entah datang dari mana
ketika malam bertahap menjadi keruh
angin tiba-tiba mengendus
mengambil kucing itu
melarikannya ke gunung
dan menyembunyikannya dekat pohon kuku
pohon yang lebih ia benci dari pacar pertamanya
ia marah
ia kesal
sejak itu ia tak ingin bicara pada angin

Kendari, 2007


BUTON 1969

begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyiak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan
mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir
bukan tawar menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu
pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah
adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam gua yang ditolak para pertapa
kau khusuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

Buton, 2007


NARASI SURAT CINTA

aku bacakan yang ini saja:
surat cinta yang tak jadi kukirim
karena kutulis dengan huruf-huruf besar
dan terlalu mencolok kata sayang dan rindu
di setiap baitnya
ini pun bila kau mau mendengarkan
karena di samping isinya yang terserak
suaraku juga telah habis terkuras
oleh igau malamku yang seolah
namamu menyatu dalam bibirku
lagi pula
aku sulit menemukan cara menulis surat
dengan huruf miring yang mendayu-dayu
meski perasaan saat menulis
lebih menggelombang dari badai
yang selalu menyurutkan nyali para pelaut
setelah berkali-kali
mencoba belajar seni melipat surat,
aku selalu gagal dan kesal. aku merasa
ada semacam penolakan yang sengaja ditimbulkan
oleh surat ini karena mungkin saja ia tahu
kalau tidak wajar sebuah surat tanpa
pengirim. tentu karena malu. aku
tak ingin menulis namaku yang amat tidak sepadan
dengan gambar winnie the pooh
di sudut kanan bawah, kertas berwarna oranye ini.
atau begini saja. lupakan kalau aku pernah
menulis. karena kamu
akan mengabaikannya bahkan
sebelum aku memintanya

Kendari, 2007

3 komentar:

khaidir hayun mengatakan...

pak ajar phi saya bagaimana cara membuat blog yang kreatif & menarik

Nino Zulfikar mengatakan...

Narasi Surat Cinta. Sudah hampir 3 tahun setelah Kemah Sastra Sultra 2008. Tetap saja , tercatat indah dalam buku tua berdebu kenangan masa muda ku. Terima kasih ilmunya Pak. Salam Sastra !

Sintha mengatakan...

puisi perjamuan juga yg buat abang kan? mana ya? nggk dpt2 nih