Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Tenggara Terima kasih atas kunjungan Anda

Selasa, 29 Januari 2008

DIDIT MARSHEL

DIDIT MARSHEL lahir di Uepai tahun 1976. Bergabung dengan Teater Sendiri sejak tahun 1997. Alumni Unhalu Jurusan Bahasa dan Seni tahun 2002. Bersama TS, ia pentas dalam beberapa event kesenian, antara lain Temu Teater Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Karya puisinya terdapat pada Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri]. Seusai kuliah si Unhalu, ia kembali ke kampong Uepai dan membentuk sanggar berbasiskan anak-anak usia SD, SLTP, dan SMA yang bernama Teater Rakyat Anamolepo [Trapo] eapai. Sanggarnya, Trapo telah berkali-kali pentas, dan berkali-kali pula meraih sutradara, aktor, artistik, penyaji terbik pada berbagai iven anatara lain Festival Teater Pelajar [2004-2005]-Teater Sendiri Kendari dan Festival Teater-Teater Empat Raha.

Pada

Pada hidup kukatakan sepi kepanjangan
pada ramai kurelakan tuk menyatu
pada malam kubertemu angin sunyi
pada siang kubersama kehangatan hambar
pada jengkel kuluapkan semua isi perut
pada rindu kukhayalkan di kejauhan
pada terang kuberlindung dari kesilauan
pada gusar kuterbawa sepoi emosi
pada sabar kuselami kedalamannya
pada dosa kucoba hindari
pada pahala kuakan gapai
Aku ini dalam perjalanan
penuh cadas pada pijakan
perih berdarah ku kan tersenyum
walau mata berkaca-kaca.

Lasolo, 20 November 2005


Hoplah

Tung hitung terluntang lantung
menggantung di awang-awang
lang melayang menerawang
Diri sendiri menyendiri
beri, lari hindari menghampiri
seri si sri sari-sari
Larut terpaut taut maut
kusut kasut kusut rambut
cabut serabut lutut
Celoteh boteh loteh moteh teh
toreteh bateh loteh kateh
mateh sateh tateh jateh
Jalan pelan berkalan-kalan
cepat dapat ketupat rapat
tunjukkan akan berakan ikan
Resah asah mengasah basah
melamun namun manyun
lebam garam malam selam
Ngung…. Ung… ng… g
B…. i….

Pedalaman Lasolo, 30 September 2005


Tiba-tiba Saja

Tiba-tiba saja saingat itu anak
malas-malasnya, rajin-rajinnya, keras-kerasnya,
marah-marahnya, ngambek-ngambeknya,
uring-uringannya
Jika kelak aku larut usia
ialah penerus langkah
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Dia!
terlintas disaat aku sunyi
disaat aku sedih
ayun langkahnya adalah obat
diamnya adalah dingin
cerianya adalah nyata
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Aku !
bukan apa-apa
ia adalah harapan
walau ia tidak tahu, sebab
tidak ‘kan pernah kuberi tahu
tentang segalanya itu
kelak ia akan tahu
bahwa ia adalah segalanya
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak

Pedalaman Lasolo, 7 Oktober 2005


Bingung

Gantung untung lantang sayang
hanya di hati tapi terkunci
benci laci, poci pecah lengah basah
Sarang dijadikan sarung buat serang barang
barang buta seperti bala berhati batu
terbata-bata hindari diri lari sembunyi
Mungil mengail pengalaman di halaman
berlindung pada pelindung, buang lang-lang diberi sayang
apa dikata lata berkata jata jadi rata-rata
lolos polos, siapa jadi jongos?
Pintar putar latar, narasi jadi basi
sampai kapan papan delapan kedepan
akui jati dari Raha, bahwa prahara itu begitu
Memang muda ada padamu,
tapi madu pada padu walau pedih
terima saja, saja terima tak lama-lama
sabar disambar tebar lebar
sesal asala jasad terbabad
akui mengakui pakui-kui
gila lagi aku kau
hanya nyaho tak bergeming gamang.

Pedalaman Lasolo, 25Agustus 2005


Vocal

Itu dingin selimuti badan
hati beku buat tak nyaman
coba panasi dengan asap
hasilnya kamar jadi pengap
Entah ini hanya rasa
terasa jiwa melambung makna
atau hanya perasaan
dibutuh, tidak! Dilupakan, jangan!
Otak berputar kelilingi alam
gelisah temani temaram
jangkrik lantunkan irama resah
ombak di kejauhan mendesah basah.
Usung harapan di kejauhan
namun tak kesampaian
jarak telah memisah
bungkam semua kumpulan desah
Anak manusia terdampar jauh
langlang buana pedalaman kumuh
sendiri di pengasingan romantis
hingga semua terputus lepas

Pedalaman Lasolo, 12Agustus 2005


Gosong

Gerayangan hati kala ingin pulang
bersua dengan tatap makna pada lingkaran
gelisah di dada antar di rasa
tidur tak kunjung, angan melayang
Galau memang selimuti langkah
hampir terjungkal cium anak nakal
bagaimana tidak karena kosong
Gugat siapa kalau begini
batasi gerak karena piring
rasa bagai di liang
Gerak duduk berulang-ulang
seperti seterika dongkol sendiri
di kamar malang
Gigit filter hingga putus
rokok habis berbatang-batang
kamar pengap bau asap jalang
Genderang hati tetap bertalu
gelisah jiwa ingin pulang
galau pada pertimbangan
gugat siapa kini
gerak tak dapat sulit melilit
gigit jari di kamar sepi
Waktu pun terus melaju, dan
aku masih di sini merana sendiri

Pedalaman Lasolo, 11 Agustus 2005


Sajakan Saja

Selaksa makna dari mata
tikam nurani pada sepi
jauh terlihat senyuman
tatap penuh makna tanpa arah, tapi bertujuan
Kerahasiaan tertata rapat
akan ungkapan jiwa sunyi
bahwa kagum simpatik telah bertahta
ditimbun rasa pertimbangan, malu pada rinai hidup
Seutas narasi telah terjadi
saat itu tak terkondisi
kesalahanlah yang bercokol
cerita dapat berubah diubah
nyata kalimat lain, kemurnian terpahat indah.
Kutuang biar tumpah
akan rasa yang menghentak
begitu berarti raut wajah sepi
berkhayal angan tak tiba
senyum berganti amarah
pandangi kisah di hari-hari
Senandung angin ajak bersuka
lantunkan lagu irama syahdu penuh rindu
jauh bukanlah jarak, yakin telah tersulam
dua hati malu untuk satu
Kata bukan segalanya. Kalimat tidaklah satu-satunya
gerak pandangan serta pipi merona
adalah tanda, semua boleh diketahui
lewat mata hati
Ini, jangan ada ragu. Segalanya ada pada bulan
gemuruhnya esa gelombang rindu
itu tidak bergeming!

Pedalaman Lasolo, 8 Agutus 2005


Negeri Batu
: Kado Ultahku

Zaman batu, penuh batu
perubahan batu jadi goa batu
kikisan batu jadi kerikil batu
kumpulan batu jadi gunung batu
penghuni goa batu berkembang seperti batu-batu
beranak-pinak seperti kerikil batu
tertimbun di lubang batu.
Peradaban batu seperti hujan batu
penuh dengan aturan batu
gunung jadi gedung batu
angin laksana panah batu
air mengeras laksana batu
api menjilat laksana lidah batu
tanah retak laksana pecah batu
binatang jadi batu
manusia jadi batu
dan
sebentar lagi tempat ini
akan jadi batu

24 Oktober 2004


Awal Bulan

:Tuk Manusia Aneh

Bulan di atas kening curahkan sinarnya
sepasukan awan bentuk benteng lekuk meliuk
sementara dingin rasuki tulang,
hembus nafas hasilkan asap di kejauhan
Bulan di atas kening lingkar penuh tanpa lekuk
sepasang kecoa penuh canda di takik papan
senandung jangkrik malu-malu
cicak di dinding cengengesan
telan nyamuk sial datang ajal
Bulan di atas jidat kerut perlahan
sinar buram awan menghitam
sedang jangkrik tetap bernyanyi sunyi
cicak puas lidah terjulur tlah hancurkan cinta kecoa
Bulan di atas jidat halau aral
satu ditepis, awan pun terhempas
sir desir angin datang, pecahkan awan hitam
Bulan dekati ubun
senandung jangkrik makin menyayat,
lihat kecoa penuh duka lara
Bulan di atas ubun, saksikan dengan tengadah
sendiri aku masih terdiam di awal bulan
lihat bayangmu jemput khayalku.

Uepai, 1 Agustus 2004


Dia Pergi


Dia pergi.
cerita paling pendek
kala kudekap jemarimu dingin
Kini tinggal kenangan
penuhi ruang bathin.
satu cerita lagi terlewatkan
kubakar hatimu dengan rasa
hingga temui damai di sisi
Aku hanya berucap
“maafkan aku
karena
berterus terang”.

Kendari, 2001

Tidak ada komentar: