Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Tenggara Terima kasih atas kunjungan Anda

Selasa, 29 Januari 2008

KARMIL EDO SENDIRI


KARMIL EDO SENDIRI lahir di Ende-NTB tahun 1978. Bergabung dengan Teater Sendiri, tahun 1999. Bersama TS ia pentas pada Temu Teater Katimuri I di Banjarmasin 2000 dan even kesenian lainnya. Ia juga pernah bergabung dengan beberapa sanggar yaitu, UK-Seni Unhalu, Bensfis, dan kini membina Teater Rahasia. Ia juga telah tiga kali kuliah di tiga jurusan yang berbeda. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Karya puisi Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, Pembacaan Sajak Akhir Tahun-TS 2005 [Teater Sendiri].


Tentang Cinta Kita


Biarkan malam ini berlalu seperti malam-malam lainnya
Bukan karna kita sama-sama lelah
Bukan karna tak ada cinta lagi
Tapi sebab bulan tak lagi semanis madu
Kita semua orang upahan
Tak boleh punya malam pertama
Sebab bersama mentari esok
Kita harus kembali giat
Makanya tak boleh lelah
Kita cuma buruh pabrikan
Tak boleh berbulan madu
Sebab jika absen kita kosong
Itu berarti mangkir
Kita dipe-ha-ka
Sayang,
Tentang malam pertama
Biarlah kita ganti
Dengan cinta kilat di sela istirahat
Toh, hasilnya sama, anak.
Cinta,
Tentang bulan madu
Tak pantas untuk kita
Itu kisah para selebriti
Itu kisah konglomerat
Yang penting cinta kita tidak melarat

Kendari, 2002


Tentangmu


Kukuh dua kaki
Topang sejuta ide
Sekian kata entah
Kau ambil
Kau buang
Tinta pun tercecer pada leluk bayangmu
Kekar dua lengan
Pikul sejuta gagas
Sekian cerita entah
Kau rangkum
Kau edit
Kertas pun terserak pada tiap desahmu
Kilau lapang jidat itu
Kutahu kau gemilang
Ada yang ingin kukatakan tentang kau
Din, aku iri

Ende, 2005


Kata Mata Kita

Mata pena bosan merangkai kata
Mata pena enggan melukis kita
Mata pena macet di kota
Mata pena kehabisan tinta
Mata kota kita
Seperti pena tanpa tinta
Seperti tinta tanpa kata
Kendari Beach, Desember 2004

Legenda Kasih
Lama Sabatani
Atas nama rindu di kelam malam
Kau datang padaku
Kau kecup bibirku
Mesra
Kita pun bergumul dalam rasa
Lalu kau katakan
Ini yang terakhir
Dengan sayang kau ikat aku
Dalam kasihku kuserahkan diriku
Karena cintaku kau arak aku sebagai maling
Aku nista seperti kecupmu
Sebagai pelacur aku kau adili
Sebagai pengkhianat aku kau hukum
Kau cambuk aku dengan duri
Pada tiang perkasamu kau paku aku
Dalam nafsu kau sibak auratku
Malu aku telanjang di hadapmu
Tombak kemaluanmu menikam lambungku
Penuh birahi kau sedot darahku
Kau sembur ke mulutku kala kuhaus
Lalu
Ketika selaput keagunganku
sobek di langit
Mengiringi desah terakhirku
Aku berkata, Lama Sabatani
Kenapa kau tinggalkan aku
Aku tertunduk
Malu aku
Mati sebagai jalang
Di puncak durjanamu
*dan, ketika rohku mengembara
Kulihat jasadmu tergantung
Dalam rona sesal
Pasrah pada burung nazar
Yang menggaulimu
Aku tetap mencintaimu

Kendari, April 2003


Memori Kita

:Andi

Di atas sampan itu
Kita pernah bersama
Tantang pembodohan
Dalam tirai
Tenggelam di dalam ideologi
Hanyut di arus perlawanan
Kandas di kejamnya kekuasaan
Lalu terapung oleh popularitas
Kita pun sepakat hilang
Lenyap dari kenyataan
Aku bersembunyi
Dalam kegelapan yang bagiku artistik
*terakhir kudengar
Kau semakin mesra dengan-Nya

Makassar, Agustus 2005


Maaf Dek
:Mereka

Sementara kuingin sembunyi
Kau mencari
Sementara sekian banyak kujauhi
Kau hampiri
Sementara aku berlari
Kau dapati
Entah siapa yang mulia
Lalu ada belai
Enggan usai
Bahkan tanpa kata
Apalagi cinta
Tercipta cerita
Segala tentang kita
Maaf
Aku khilaf
Aku insyaf

Kendari, 140203


Tentang Malam Kita

Membiarkan bulan berlalu
Begitulah kisah
Di atas bukit batu
Kita berkesah
Polos kata tanpa malu
Tentang sekian resah
Tentang sekian cintamu
Ada kesal
Tentang sekian ceritaku
Ada sesal
Tentang malam itu
Ingin kau kutinju

Uepai, 14 subuh Februari 2006


Kau Panggung Nasib


Hanya mata menatap kaku
Dan diharap wajah membeku
Lalu jauh pandang memaku
Bila dagang tak laku-laku
Demi nasib dia begadang
Dan dibara hidup dipanggang
Lepuh di kulit kian meradang
Karena menunggu jagung matang
Adakah cinta untuk yang papa
Adakah sayang untuk nestapa
Bila hidup semakin hampa
Karna untung tak berapa

Sekret TS- 20, 21, 23 September 2004


Menjelang Subuh

Jam dinding mendengkur
Dan kita ditegur
Tidur!

Sekret TS, dini hari 2 September 2004

Senin, 28 Januari 2008

SENDRI YAKTI - Kendari


SENDRI YAKTI lahir di Kendari, 9 September 1980. Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari. Mengawali pentasnya dengan lakon Dream of La Bio di Gedung Koni oleh teater SMUNSA, selanjutnya ia pentas pada Indonesia Jilid IV (Habis) karya/sutradara: Achmad Zain pada Festival Teater Alternatif (FTA) GKJ Awards di Gedung Kesenian Jakarta, Oktober 2003. Bersama Abd. Razak Abadi, pernah menjadi pengisi tetap Art in Radio (AIR) di Radio Swara Alam FM Kendari. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Antologi Perempuan Penyair Indonesia [Masyarakat Sastra Jakarta-MSJ 2006] dan Majalah Gong Yogyakarta.


Monogram dalam Kolam

Sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu.
padahal, aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku.
tapi kau panah belah matahari
menggeligis pecah ke araharah,
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut
telah lama kau dedah larung di kolam,
menenggelamkan monogram yang berlepasan.

2006


Kutukan Sungai

Aku memeram batu-batu dan semak di dada
agar ketuk tak bergaung
dan spada tak mampir memekak
cuma boleh decak,
atau tepuk dari muara yang berkecipak.
[kutuk yang mengerak di rusuk].
Tapi pertemuan tiba-tiba itu,
membakar lingkar onak di jemari
memecahhanguskan batu-batu
menjadi tetaburan pasir yang berhinggapan di geraigerai
kukirim embun dan debu tiap saat
seperti laron dan kupu yang juga kau paketkan
tanpa kausal yang jelas.
waktu mengutuk kita menjadi pencemas,
perindu yang tak berani menggumam dan mendesah
sebatas upik abu yang memikat periperi,
meruahkan mawar di relung pangeran
dan bergegas di celah dentang
“sepatu yang kutinggal akan menggeruslepas kutukan,
ritual dari sungai yang mengaliri tubuhku”
Tapi keajaiban tak selalu tiba-tiba
tak ada sepatu yang kutanggal
kereta hanya mengantar adam,
yang bersulang dari deras sungai di mataku
Kuku memenuh inai
gaun yang dilicinkan
dasi berlapis cindai
erat belukar di tangan
ah
onak yang mesti kusemat kembali

151005


Mosaik yang Retak

Udara mengabarkan pilu yang ranggas,
kemarau di surat dan dering telepon malam hari
berulang kukatakan, jangan hansel dan gretel!
tapi tetap kau buang serpih roti di deret pinus hutan,
bukan batu atau kayu.
dan burung itu, bergegas mematuki remah
hingga kau menangis semalaman,
merindui cermin dan matahari
Dan aku, kehilangan pekat matamu
Dari hutan, suratmu pernah sampai padaku
hijau, coklat, lalu putih dan mengusam
sedang di kamar, telanjur kurekat kacakaca
hijau, kuning, juga merah yang benderang
mosaik : cermin dan mataharimu
Lantas, kacakaca memantulkan hijau pinus tempatmu,
kulihat kau menari, senyummu memekar mawar
kulihat burung itu menari denganmu,
matanya nanar meliar
petir berlarian di dadanya,
berkejaran di kuning merah kaca-kaca
menggelegarretakkan mosaik
Dan aku, kehilangan pekat mataku

2006


Kekalahan Dinihari

Malam marut, katakata mengerucut
menerobos sejarah yang mengumuh di sudutsudut
di udara merambat musik bingar, igau yang riuh
percakapan jadi liat dan menoreh pedih
sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka,
dan kau mencetak tiga poin di papan skor
menandai amnesia yang akut
kita berdebat tentang feodal yang kataku belel
tapi masih kau panggil ayahmu ode
tak seperti kudecak lidah
dan memanggil kucingku sultan.
keraton tak lagi sakral
melulu peluh melulu lenguh di temboktembok
pukul dua lewat, kau ratapi ruh murhum yang minggat
Embun bergelut di bibir rerumput
mata tak jua mengerut,
skor berkejaran dinihari
selisih yang tipis untuk sebuah final
lamatlamat, udara digaung suara rempak merenjana
pintu berderak, hati tertetak
“malam untukmu, saudara
khalikku merindu, zikirku cuma zarrah di arafah”
dan kau pun beringsut ke kabut.
Selepasmu, angkaangka berjatuhan dari papan
melenting, menggelinding
berputar,
terbakar
memijar,
lalu abu.

2006


Teman Lama

Di taman ini,
kita mengungkai sesayap di diri
mengeja kerut yang rumit
yang tiapnya bergelayut dorna dan yudistira
Di taman ini,
perang dan genderang melindapkan siang
mengurung alkah alkah dalam gerabah
hingga kita lupa,
di adegan apa, kita mestinya saling rangkul.
bukannya mencatat gerhana dan badai
yang berdesakan di paru-paru
Di taman ini,
teh dingin, cuaca berangin
kita masih tak kunjung menyapa.
mungkin kita tak butuh apoligi,
mungkin kita hanya perlu mengulang adegan
di mana kita mestinya saling rangkul

2006


Musa di babak Terakhir

- Toer -

Cuaca mendung. radio mengalirkan blues yang getas
mata rusuh, sedu yang ribut
kau menjadi Musa di babak ini,
setelah nil mengaramkan perih dan lirih
tanpa Fir’aun, juga rambu rambu
kau tak perlu berhenti dan berhati.
kau bisa masuk dari pintu manapun di tubuhku.
lalu aku akan membaca rajah tanganmu,
mengheningkan detak yang sungsang
dan ke matamu,
kukirim sunyi terpekat.
mungkin, badai akan menghalau suara
ke bukit, ke nadi sungai, ke palka laut
tapi akan kunyanyikan berlembar igau dari teralimu
puisi, atau mantera, atau ayat-ayat
membakar linting terakhir di bibirmu
lalu menggiring matahari,
ke tabutmu*

05-2006


*tabut : peti berisi batu bertuliskan


perintah Tuhan pada Nabi Musa
Ketika Pasir Berarak
ke Utara
Laut surut, kanda
tak sempat kulipat perahu dari kertas
untuk kuhanyutkan ke utara
tempatmu menjala iblis
yang menjarah matahari dari atap
Bertumpuk dedaunan kayu putih,
aroma cengkeh dan mete,
ceciuman kalut, rindu yang marut
kupetikkan dalam palka perahu
tapi laut, kanda
masih juga susut.
Bermil dari pertempuranmu
kubayangkan sirap rautmu
digarut takut yang akut
erang genderang,
kerubung dorna,
kerumun faust,
Laut beranjak pasang, kanda
pasir mulai berarak ke utara
Malammu takkan beku dan rusuh
tunggu aku, kanda.

2006


Isyarat Perpisahan

Selalunya aku mengenang malam itu,
rintik hujan di kotamu yang senyap
sesuatu yang tak selesai kutulis
dalam buku daun yang mungkin sudah berhenti kau baca
catatan penuh gambar dan puisi tak berarah tentang kita
kenangan seperti cermin retak di bawah lampu
memantul melarikan pecahan wajah ke arah angin.
kita bahkan lupa wajah sendiri
hanya mereka-reka, seberapa kelam mata,
seberapa murung bibir.
sungguh, aku ingin membujuk tiap gerimis
menculikmu dari rumah sepi.
tapi tetesnya seperti es batu
menghablur,
mengisyaratkan gigil perpisahan
sesuatu yang belum siap kueja.

23.53

031005

IWAN KONAWE - Kerndari


IWAN KONAWE lahir di Kendari tahun 1978. Menggaa Lighting [Penata Lampu] Teater Sendiri ini pernah mengecap bangku kuliah di UNM-Makassar Jurusan Sendratasik angkatan 1999. Namun, saya ramalkan bakal tak selesai-selesai. Makanya lebih baik cepat mengundurkan diri sebelum diundurkan, katanya sambil tertawa. Bersama TS, ia pentas dalam beberapa event kesenian. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005, Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Takalar-Makassar. Selama empat bulan, magang di Gedung Kesenian Jakarta bagian Tata Cahaya dan Artistik, kerjasama Yayasan Kelola-GKJ. Karya puisi pria Konawe (Tolaki) yang suka bertualang ini, terdapat pada Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Pembacaan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri], dan Majalah Gong Yogyakarta. Kini menetap di Kendari sambil sesekali bertualang ke Uepai.

SMS Kedua Ratus Tujuh
:Syaifuddin Gani

‘lekas kemari
kamis atau jumat pagi
kau mesti di kendari
kita akan mengganti bulan
dengan malam bulan puisi”
begitu berburu kau menyapaku
lewat pesan masuk telepon genggamku
:pada suatu magrib
tanpa bulan temaram
hanya kegelapan
kesepian,
berjarak puluhan kilometer kerinduan

Uepai, Ujung September 2004


SMS Keseratus
Sembilan Puluh Lima
: Adel

pada suatu pagi yang ungu:
“kak… kamu di mana sekarang?
maaf ya…aku tak kuasa ke kendari.
aku harus pergi jauh,
meski aku rindu
pada kalian semua”.
kau kirimi aku kidung alam
tegar seperti nyala bara
:adakah aku berhadapan
dengan geram peperangan,
yang menang akan abadi
yang kalah tak kembali?
berdiri kemudian aku di muka pintu kayu
lusuh bagai waktu itu
melukiskan masa lampau:
“di ubun-ubunku
urat syaraf tengah berperang melawan radang otak”
bagitu kau bilang
sembari bersila di depanku.
ketakutan, kegelisahanmu
menggambar maut
kutangkap dari senja kaca jendela.

Uepai, Ujung September 2004


Silea

di tanah pinus pegunungan silea
reranting kering berguguran
merepih kabut
memapah pagi yang berpekat.
tepi gunung menebar wangi sejuk kemesraan
tepi jurang menebar indah getir kematian
menuliskan rinduku bergalau
sepanjang jalan berlika-liku debu.

Kolaka, Agustus 2004


Ritus Mosehe

dari muasal tanah konawe:
“tembikar pandan
melilit erat tiga simpul rotan
berlingkaran di antara pinang dan dedaunan siri
beralas tetoron putih sebagai kesucian.”
perlahan pabitara menyentuh sukma
tembangkan makna peribahasa:
“ni ino saramami”
bukan mantra basa basi
hanya petuah temurun
yang masih utuh walau guntur mengemuruh beruntun
sepejam mata
taawu dihunuskan:
kerbau putih sebagai simbol tumbal
darahnya bercecer mengusir sesal
ia lemas telah mengusir tikai
yang tak padam

Konawe, 2004

taawu : pedang panjang khas adat suku Tolaki

Ritus Molulo
bumi merubah nasib:
pesta kawin, panen, dan kematian
tiba-tiba menjemput
bumi dijajal:
kedua telapak kaki menari
jemari adam erat menganyam jemari hawa
luluh lantakkan tanah
pada pusar lingkar kekerabatan
bumi bersaksi:
demi cucu merukun
tiga bunyi karandu
dititipkan tono motuo
demi kami
Inggomiu

Konawe, 2004


Kembali Ia akan Memintal Waktu

:TS

telah ia sepuh segala:
suka serta duka
cita serta cinta
di gedung besar sana
sebulan, ia kenang lampau yang meriak:
“sembari pamit kepada malam yang pahit berarak
kuteteskan pula setetes bening di kelopak
bukan karena bara dada telah menetak
tapi kesabaran mesti kudendangkan kendati telah retak”.
pada lantai ubin
ia dilahirkan
pada bilik beton
ia dibesarkan
pada gedung tegar
segala kebersamaan ia tebar.
hanya sesaat saja asa berhembus
hengkang ke belantara luas
ketika tiba memanggil waktu
kembali ia akan memintal waktu.

Makassar, 2004


Suatu Malam


suatu malam
saat lorong rumahmu mulai kelam
kupacu jarak menembus rindu yang pupus
kuhalau kabut malam yang menutup
jarak perpisahan

Kendari, 2003



Kita Putar Waktu ke Belakang

:Didit Marshel

di atas sperei ranjang
bergambar bunga-bunga
juga ada reranting juntai memanjang
:kita putar waktu ke belakang
mengingat masa lalu telah menjadi benang
kusut berurai dan terlentang
tanpa sadar kita menyaksikan bisu langit-langit
tanpa sadar kita toreh dinding dengan derai bait-bait
tetapi,
tanpa sadar mulut kita berlumut
tepat, seperti kemarin cicak mendecak
hasil keringat kita.
meski pengorbanan adalah perjuangan
kesabaran jadi penuntun,
ke jantung telah kita pantunkan
ketegaran jiwa Kapita Anamolepo
:kita benam saja segala dendam
ataukah mestinya
kita susuri kembali perkampungan laanggambo
meski penuh ombak debu
repihan perenungan lalu
tetap ia sepuh.

Uepai, 2004


laanggambo : tempat penambangan pasir di daerah Uepai


Kukubur Senja yang Perih

:Fitri & Annisa

mobil senja mengantarku menyusuri kendari
melayari perbukitan pohonan pinus silea
meliuk-liuk di aspal yang bersilauan
mengubur senja perih di tanah sorume
tak gentar kulayari tanah merah
sepekan lamanya
melarung memberi makna puisi
seluruh ke penjuru sukmamu
tapi, mesti kutautkan perpisahan itu:
mengubur nista-nista itu.

Kolaka, 2004


Kata Perpisahan V

:Para Pembuat Bom

selamat malam anjing malam
berikan kami lolonganmu
sebagai jerit penolong untuk kami
memasuki mimpi yang bergalau
akan kuberi jeritan yang lain
lebih perih, lebih menyayat:
dari bagian tubuh kami yang terbuang.

Uepai, 2004

ACHMAD ZAIN - Kendari


ACHMAD ZAIN. Berawal dari kesendirian, disertai keprihatinan atas kondisi perteateran di Sulawesi Tenggara, tahun 1992, Stone - demikian akrab dipanggil - mendirikan Teater Sendiri. Pada awal kiprahnya, kesendirian adalah kawan yang setia menemani perjuangannya. Tak lama kemudian, ada beberapa orang yang bergabung. Baginya, tidak ada pekerjaan yang hina selama dikerjakan dengan ikhlas dan tulus. Ia menulis naskah dan menyutradarai pementasan teater di Teater Sendiri. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Teater Sendiri Dengung, Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, Pembacaan Sajak Akhir Tahun TS-2005 [Teater Sendiri], Antologi Wasi Taman Budaya Banjarmasin, Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Membawa Teater Sendiri yang dibinanya pada berbagai event di Indonesia dalam Temu Teater Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Pentas Teater Keliling [Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta], dan ajang lainnya. Menerima Penghargaan Sastra Tahun 2007 dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara untuk dedikasinya dalam menggiatkan sastra di Sulawesi Tenggara. Teater Sendiri pun yang dibinanya, menerima Penghargaan Sastra Tahun 2007 dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara atas aktivitas kesastraan di Sulawesi Tenggara. Baginya, “Berbuat Adalah yang terbaik!"

Fana

Kurangkul malam
Kupagut kelam
Kucumbu rembulan
Kusetubuhi waktu
Kulupa usia
Berpeluh gairah
Di ladang nafsu
Sesaat nikmat
Mengikat
Ajal tiada saat

Wuawua-05


Halusinasi

air mata
membatu
di rongga
mulut
telinga
bising
memekak
di ketiak
dubur
hati
luluh
meleleh
di antara
bibir
tubuh
rubuh
menggelepar
bising memekak
air mata
luluh meleleh
di ketiak bibir
mulut membatu
di rongga dubur
di antara
hati

Wuawua-05


Sembilan Anak Tangga

Usai lewati sore di awal ‘06
dengan berjuta cerita di antara dua gelas kopi
buatanmu
Sesekali ada tawa terselip
di kepulan asap 234
Din
di sembilan anak tangga
semua tersimpan rapi
dan di puncak tangga ada cahaya membias
biarkan menerpa wajah kita
Din
melangkahlah selama kaki kanan
dan kaki kiri belum menyatu.

Wuawua, 1 Januari ‘06


Aku Cemeti


Aku cemeti
yang senantiasa
mencambukmu!
entah sampai kapan.
Enyahlah rasa sakit
larut rasa sakit
yang tenang…
Desirku adalah
simponi yang ‘kan
mengiringmu
pada
kemanusiaan hakiki.

Kendari, 2006


Ajari Aku

Aku manusia lahir
yang kurang ajar
karena keadaan
Keadaan
menuntunku pada
kehidupan liar
di tengah kaum terpelajar
Kasian para cendekia
ajari aku
‘tuk dapat menjarah
harta negeri ini
Ajar aku
‘tuk berwajah dua
ajar aku
‘tuk bersilat lidah

Kendari, 2006

Fransiskus S. Patadungan,


Fransiskus S. Patadungan,
Lahir tanggal 10 November 1986 di Toraja Sulsel.sekarang menjabat ketua Arus Teater Kendari Bergabung sejak awal berdirinya Arus Teater-Kendaritahun 2006 dan langsung diangkat menjadi Ketua Arus Teater-Kendari. Juara I dan III Lomba Penulisan Puisi
Peringatan Hari Chairil Anwar. Juara II Lomba Baca Puisi pada PESTA Unhalu tahun 2007. Menyutradari pertunjukan puisi pada akhir tahun 2007. Karya : Antologi Puisi Ini Untuk Esok. E-mail : frans_seno@yahoo.com


PASIR

Belum jelas kata "kita"
dalam kebersamaan kita.

inilah seruan dalam diamku

saat kusaksikan dalam genggamanku
kembang putih adalah keping-keping jamur
tersusun bagai kelopak -kelopak bunga
yang menipu

Di saat berharap terang
kau tenang
wujudmu cahaya
panas yang menguras darah dalam urut
menjadi keringat membasuh tubuhku menjadi dekil
di setiap mata.

Setiap mata bersakasi
"kau adalah benalu dalam harapan"
tapi kuberteriak
"tidak"
hanya karena itu terlalu kasar buatmu

Dulu bulan sebit awan tercabik-cabik
malam menghantar sepi
menyelip dalam hening

kau datang menunjuk senyum di atas awan
kau tampakkan rumah di atas karang
tapi apa? Apa?
Awan slalu berubah tak kembali
dan kini, tampaklah rumah
yang kau tunjuk berdiri di atas pasir

22 desember 2007

KATA TERBINGKAI

Belum usai
kita terbaring setiap malam memandangi langit
menyelam merayapi hati, sambil
menyerap hening dingin
telah berkali-kali kita menyulam
kata-kata menjadi bunga
bertangkai ujung tombak

kita saling memberi
perih terbingkai rapi

Walau kata-kata telah berlalu
namun di batin kata membatu
Dan kita seperti anjing menjilati luka sendiri

28-30 April 2007

DENDAM

Sebab janji pernah mengikat kita
lalu kini
keputusanmu telah memukul

Maka untuk kau tahu
wajah-wajah yang nampak malam
kami rias dengan terang
dari senyum

di sungai air mata
daging pipi
kami lapis daun talas

Dan agar kau tahu
di telapak tangan air mata tergenggam
terkepal tersimpan dalam nafas.

12 April 2007


PEREMPUAN

sederhana saja untukmu.

jangan tunggu aku
akan memanggilmu bidadari.
itu tak akan pernah !
sebab kau kuharap menjadi perempuan
yang datang dengan secangkir air untuk lelahku.
Bukan dengan selendang
yang tak lepas membentang di pundak
hingga ke ujung jari
menjadi beban untuk ditanggalkan.

ketahuilah
aku mencintai kamu
karena dan dengan harapan.

31 mei 2007


KEBEBASAN

Di dinding sebuah gedung
seorang laki-laki berdiri
dengan selangkangan terbuka
Di tengah selangkangannya
air kencingnya memancar.

Januari 2008

DESEMBER APRIL


Desember ini kau masih mengirim salam sepi dari lagit
bagai hujan mengucap musim
bintik-bintik dan gerimis menjadi
liur-liur seiring air mata kerinduan

Di sini tak ada yang menemaniku menyalakan lilin-lilin
menjaga terang tenang
menahan redup oleh tarian angin hingga habis perbatang
aku risih akan keredupan perlahan.
Maka kuganti saja lilin-lilin ini dengan satu lentera
agar terang dan asap hitam sama-sama ada
Janganlah marah tetaplah kalahkan aku dengan kabarmu

Aku telah lelah tapi sabarku tak habis
Aku tahu menuju April nanti kau akan berkabar lagi
tentang beban salip di punduk hatimu
tapi dari Desember ini aku telah bersiap
memikul palungan hingga April
untukmu nanti

Januari 2008

DAPUR ISTRIKU

mengapa dapur kita tak ada jelaganya?
yang ada hanya jaring putih labah-labah

mengapa piring-piring kita hanya menjadi hiasan
berdebu di ruang tamu?

Esok kita makan di warung mana lagi?

Januari 2008

Minggu, 14 Oktober 2007

Syaifuddin Gani


Syaifuddin Gani
(Kendari)

SYAIFUDDIN GANI lahir di Salubulung, Mambi, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, 13 September 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998 sampai sekarang. Puisinya diantologikan pada antologi bersama Sendiri, Sendiri 2, dan Malam Bulan Puisi, kumpulan sajak tunggal Perjalanan [Teater Sendiri], Kendari [Kantor Bahasa Kendari], Ragam Jejak Sunyi Tsunami [Kantor Bahasa Medan], Medan Puisi [Labsas Medan, 2007], dan Antologi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan (KSSB, Kalsel 2006). Sajak-sajaknya dimuat di Horison, Harian Republika, Harian Seputar Indonesia, Harian Lampung Post, Majalah Gong Yogyakarta, Sultra Pos, Harian Pedoman Rakyat Makassar, Jurnal Sundih Bali, Radar Sulbar, Majalah Annida, Jurnal Puisi Sumbawa, dan Harian Analisa Medan. Esainya dimuat di Kendari Pos dan Kendari Ekspres. Bekerja di Kantor Bahasa Prov. Sulawesi Tenggara. Email: om_puding@yahoo.com dan udin_gani@telkom.net. Alamat rumah, Jalan Malaka No. 6 Blok III Perumnas Wua-Wua 93117 Kendari, Tlp. 0401-391677 – HP: 081341677013. Alamat kantor, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Jalan Haluoleo Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari 93231Telepon (0401) 3005581, 3005584; Faksimile (0401) 3005581


El Maut


bendera putih terkulai
di pintu gang torada
orang-orang diam, kepala merunduk ke bumi
bermurungan melenggang ke tikung gang
rumah dikerumun kelapa tua
reranting kerseng memanjang hingga jendela
kursi dan bangku-bangku bercengkerama
tentang sang puteri bermata permata
tinggalkan sehelai rambut ranumnya
lunglai di sandaran.
o, retakan dinding, urat-urat belimbing
saling memandang dengan ucapan-ucapan bimbang
si rambut bening si punggung hening
telah mendiang.
di serambi
orang-orang berdatangan, yulvi
mungkin handai taulan dan kawan sejawat
wajah basah, mata berkaca-kaca
sementara engkau tinggal nama.
di sudut kamar, seorang bocah
minum susu, matanya liar di antara tetamu
anakmu.
orang-orang pulang, yulvi
seteleh engkau disembahyangkan
menuju keanggunan tuhan
semoga mulia
di rerimbun surga

Kendari, 28 November 2006


Ramadan Datang


malam padam
rindu berdiam di rerimbun petang
satu-satu bintang pulang
jauh ke ufuk selatan
cahaya benam
raib di laut lengang
kunang-kunang pulang
lenyap di liang malam
azan melayang-layang
lesap di jantung insan
jendela seribu bulan menjelang
ramadan datang
lampu penerang pendar di tikung jalan
cahayanya rembes sampai ke sumsum remang
geletar tadarrus dan tasyakur, rekah ke cakrawala
para insan jamaah ikhsan
berharuan ke altar sembahyang.
bilal lambaikan allahu akbar
deras meruah ke telaga kautsar
oi, ramadan datang.

Kendari, 6 Oktober 2006


Mendiang Yulvi


bendera putih terkulai
di pintu gang torada
orang-orang diam, kepala merunduk ke bumi
bermurungan melenggang ke tikung gang
rumah dikerumun kelapa tua
reranting kerseng memanjang hingga jendela
kursi dan bangku-bangku bercengkerama
tentang sang puteri bermata permata
tinggalkan sehelai rambut ranumnya
lunglai di sandaran.
o, retakan dinding, urat-urat belimbing
saling memandang dengan ucapan-ucapan bimbang
si rambut bening si punggung hening
telah mendiang.
di serambi
orang-orang berdatangan, yulvi
mungkin handai taulan dan kawan sejawat
wajah basah, mata berkaca-kaca
sementara engkau tinggal nama.
di sudut kamar, seorang bocah
minum susu, matanya liar di antara tetamu
anakmu.
orang-orang pulang, yulvi
seteleh engkau disembahyangkan
menuju keanggunan tuhan
semoga mulia
di rerimbun surga

Kendari, 28 November 2006


Semalam Di Uepai

di tikungan empat lima Uepai
daradara Konaweeha menyusuri petang
rambut panjang digerayangi angin
cahaya senja mengguyur kulitnya kemerahan

di bawah pohonpohon kerindangan
Putriputri Anaway berjejeran
berceritera dengan senyum keramahan
tentang Kapita Anamolepo lelaki kebanggaan
malam merambat
bulan merangkak
di sebuah lapangan hijau Uepai
bersebelahan sebuah surau yang lengang
digelar lingkaran sempurna seumpama kalosara
mengalirlah pesta Lulo dengan irama dan gerak kaki yang rampak
o bunyi gong yang rancak, tangantangan satu sentak, goyang pinggang padat,
nafasnafas rangsang, juga nafsu sungsang

di bibir jalan, para ibu dengan anak di gendongan
menatap penuh khayalan, ketika tiga belas tahun silam
dinaksir lelaki saat molulo segitiga jelang subuh
para ayah memandang dengan senyum ditelan sambil menyikut buah dada

di sungai merah kali Konawe
bagai Anaway Ngguluri mereka merendam badan yang perawan
menghanyutkan peluh semalaman
sambil bercerita lelaki pujaan
I Bio dengan rayuan pongasih tanyakan kalau sudah punya gandengan
pagi hari yang berkabut
tersebar berita bersahut-sahut
I Feni kabur bersama I Dedi
saat Lulo tiga belas tuntas di puncak malam

Uepai, Desember 2005

Konaweeha : Sebutan untuk orang Konawe
Anaway Ngguluri : Putri jelita dalam mitologi Konawe
Kalosatra : Adat tertinggi di Konawe dengan symbol lingkaran rotan
Lulo/Molulo : Tarian tradisi
Pongasih : Minuman khas Konawe